Topswara.com -- Fenomena meningkatnya ketakutan generasi muda untuk menikah akibat tekanan biaya hidup yang terus melambung (kompas.id, 27/11/2025). Banyak anak muda menyatakan bahwa stabilitas ekonomi jauh lebih penting daripada menikah, didorong oleh lonjakan harga kebutuhan, sulitnya akses hunian, dan ketatnya persaingan kerja.
Berbagai diskusi publik di media sosial juga menguatkan narasi “marriage is scary”, menandai meningkatnya kecemasan generasi muda terhadap masa depan finansial mereka.
Ketika Pernikahan Dianggap Ancaman
Fenomena ini bukan sekadar masalah psikologis atau gaya hidup. Ia merupakan gejala dari luka struktural yang dihasilkan sistem kapitalisme sekuler.
Berbagai survei menunjukkan bahwa banyak anak muda menunda pernikahan karena tekanan ekonomi seperti harga kebutuhan pokok yang meroket, biaya hunian yang tidak terjangkau, serta persaingan kerja yang semakin ketat. Narasi “marriage is scary” tumbuh subur di tengah kondisi hidup yang makin berat.
Ketakutan ini tidak muncul sendirian. Kapitalisme menciptakan mekanisme biaya hidup tinggi, lapangan kerja yang terbatas, dan upah yang stagnan. Negara hanya berperan sebagai regulator pasar, bukan penjamin kesejahteraan rakyat.
Beban hidup pun dipikul individu sepenuhnya termasuk saat memutuskan untuk menikah. Dalam situasi ini, pernikahan dipersepsikan sebagai risiko finansial besar, bukan sebagai ibadah pembawa ketenangan dan keberkahan.
Pendidikan sekuler dan media liberal menanamkan cara pandang materialistis. Sukses diukur dari pencapaian finansial, gaya hidup, dan citra sosial. Kondisi ini menjauhkan generasi muda dari nilai keluarga dalam Islam: sakinah, penjagaan keturunan, dan ladang pahala.
Ketika materi dijadikan ukuran utama, pernikahan dipandang beban berat yang “harus ditunda” sampai mapan sebuah standar yang kian melambung dan sulit dicapai.
Islam Menjawab: Struktur Negara yang Menguatkan Keluarga
Islam menawarkan solusi yang berbeda secara mendasar. Negara dalam Islam wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, papan, pendidikan, kesehatan serta menyediakan lapangan pekerjaan secara luas. Sumber daya alam sebagai kepemilikan umum (milkiyyah ammah) dikelola negara, bukan diserahkan kepada swasta atau asing.
Hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan masyarakat sehingga biaya hidup turun signifikan. Ketakutan miskin yang ditanamkan kapitalisme pun terkikis.
Pendidikan berbasis akidah membentuk generasi yang memahami tujuan hidup, tidak terjebak hedonisme, dan memandang pernikahan sebagai ibadah.
Institusi keluarga diperkuat melalui kebijakan negara yang memudahkan pernikahan dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung ketahanan rumah tangga. Dalam masyarakat Islam, keluarga bukan sekadar kebutuhan pribadi, tetapi pilar utama peradaban.
Mengembalikan Keberanian untuk Membangun Keluarga
Ketakutan menikah yang dialami generasi muda hari ini sejatinya adalah cermin rapuhnya sistem kapitalisme-sekuler. Selama sistem ini menjadi fondasi kehidupan, kekhawatiran ekonomi akan terus menghantui. Islam hadir bukan hanya sebagai solusi moral, tetapi sebagai sistem hidup yang paripurna.
Dengan kembali pada aturan Allah secara menyeluruh, keberanian untuk menikah dan membangun keluarga sakinah dapat tumbuh kembali di tengah masyarakat.
Lebih dari itu, masyarakat yang berada di bawah naungan sistem Islam akan merasakan keamanan sosial yang nyata.
Negara tidak hanya memfasilitasi kebutuhan dasar, tetapi juga memastikan distribusi kekayaan berjalan adil sehingga jurang kaya-miskin tidak melebar seperti dalam kapitalisme. Dengan jaminan sosial yang kuat, pemuda tidak lagi merasa pernikahan adalah ancaman finansial, tetapi sebuah langkah fitrah yang penuh keberkahan.
Di sisi lain, keluarga dalam sistem Islam bukan sekadar unit kecil yang dibiarkan bertahan sendiri. Negara mendukungnya melalui kebijakan ekonomi, pendidikan, dan sosial yang menjaga stabilitas rumah tangga.
Budaya saling menolong, ukhuwah, dan kepedulian sosial tumbuh sebagai konsekuensi dari penerapan akidah dalam kehidupan publik.
Inilah sebabnya mengapa solusi atas krisis ketakutan menikah tidak cukup dengan edukasi mental, kampanye motivasi, atau sekadar menurunkan ekspektasi hidup.
Akar persoalannya adalah sistemik, dan penyelesaiannya pun harus sistemis. Islam telah memberikan contoh sejarah selama berabad-abad bagaimana negara mampu menciptakan lingkungan yang mendukung pembentukan keluarga kuat dan generasi berkualitas.
Ketika struktur masyarakat kembali dibangun di atas landasan wahyu, pemuda akan melihat pernikahan bukan sebagai risiko, tetapi sebagai jalan menuju ketenangan, kemuliaan, dan peradaban yang lebih baik.
Oleh: Wulandari, SP., S.Pd.
Aktivis Muslimah

0 Komentar