Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Anugrah atau Eksploitasi?


Topswara.com -- Hari ini diberbagai sudut Sumatra, air yang meluap tak hanya merendam rumah, tetapi juga merendam nalar kita sebagai bangsa. Banjir, longsor, dan kehilangan hutan tidak lahir dalam ruang hampa tapi lahir dari keserakahan dan ketamakan dalam bingkai kalimat “alam adalah anugerah, pohon adalah anugerah yang harus kita manfaatkan”.

Menariknya, dalam tradisi Islam sendiri, ada hadis yang justru berdiri berlawanan arah dengan cara berpikir seperti itu. Rasulullah ﷺ bersabda:

المسلمون شركاء في ثلاث: الماء والكلأ والنار
“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, dan diterima luas oleh para ulama sebagai landasan konsep kepemilikan umum.

Jika dibedah dari wajhul hadits-nya, lafaz “syurakā’” (berserikat) di sini bukan sekadar kebersamaan moral, tetapi menunjukkan status hukum: sesuatu itu tidak boleh dimonopoli atau dikuasai individu secara mutlak. Kata “fi tsalats” para fuqaha memahaminya bukan sebagai pembatasan eksklusif.

Dalalah hadis ini bersifat ‘ām mahshush. Umum dalam maknanya, khusus dalam lafadznya. Air, padang rumput, dan api adalah simbol dari kebutuhan publik: air mewakili sumber kehidupan, padang rumput mewakili ruang hidup dan alam terbuka, dan api mewakili energi.

Dalam istidlal para ulama, segala sesuatu yang menjadi hajat hidup orang banyak dikiaskan pada tiga hal ini.

Dari sini lahir klasifikasi kepemilikan dalam ekonomi Islam: milik pribadi, milik umum, dan milik negara. Tambang, hutan skala besar, sumber air, dan energi masuk ke wilayah milik umum, bukan semata-mata ladang bisnis individu.

Di sinilah runtuhnya logika sebagian pihak yang berkata: “Alam adalah anugerah, maka boleh dieksploitasi.” Secara logika, pernyataan itu telah salah sejak langkah pertama. Ia menjadikan deskripsi menjadi legitimasi. Ia mengubah status “diberikan” menjadi dalih untuk mengambil tanpa batas. Dalam ilmu logika, ini adalah cacat inferensi, karena kesimpulan tidak sah keluar dari premis.

Lebih jauh lagi, jika diuji dengan hadis di atas, logika mereka semakin rapuh. Jika alam adalah anugerah untuk dieksploitasi, maka dalam syariat justru ia diposisikan sebagai anugerah dalam artian kepemilikan bersama, bukan sebagai objek monopoli. Tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya: status kepunyaan umum diputar maknanya menjadi hak eksploitasi pribadi.

Padahal, Imam Asy-syaukani mengatakan: 
قال الشوكاني:
"المراد بالشركة هنا الاشتراك في الانتفاع لا في التملك، فلا يجوز منع الناس مما تعم به حاجتهم من هذه الأشياء"

Syirkah di sini bermakna kebolehan bersama dalam pemanfaatan, sehingga tidak boleh menjadi kebutuhan umum. Naylul Awthor bab Bay' cetakan Dār Al-Ḥadīth, Kairo, 1993

Hari ini kenyataan dari pernyataan tersebut terlihat. Ketika hutan sebagai “kalā’” ditebang tanpa batas, ketika tanah dibuka untuk kepentingan pribadi, maka relasi logisnya jelas: hilangnya resapan, meluapnya sungai, dan runtuhnya lereng. Yang sering disebut musibah alam, padahal hakikatnya adalah buah dari cara berpikir yang salah urus.

Hadis “Al-muslimūn syurakā’ fi tsalāth” seharusnya menjadi fondasi etika publik: apa yang vital bagi hidup orang banyak tidak boleh dijadikan komoditas segelintir orang. Jika ini dipegang, maka narasi “Anugerah untuk Eksploitasi” tidak lagi punya pijakan.


M. Izzudin Al-Qossam 
(Mahasiswa Al-Azhar Kairo)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar