Topswara.com -- Setelah 24 tahun menikah dengan segala drama tanpa naskah, akhirnya kini kami bisa jalan berdua. Ya Allah, rasanya kayak liburan rohani di tengah dunia yang riweh. Dulu, jangankan jalan berdua, duduk lima menit aja bisa langsung diserbu telepon dari neneknya, “cepat pulang, anakmu rewel!”
Jadi waktu bisa keluar rumah berdua tanpa panggilan darurat, rasanya bukan cuma bahagia, tetapi haru. Karena ternyata, momen sederhana ini yang dulu sering hilang di antara rutinitas. Dan setelah menikah selama ini, aku baru sadar bahwa jalan berdua tanpa bocil itu bukan cuma kegiatan manis buat kenangan, tetapi juga obat pernikahan yang ampuh.
Ada lima manfaat besar yang ternyata luar biasa bukan cuma buat hati, tetapi juga buat iman.
Pertama, membangun kembali koneksi emosional yang sempat renggang. Cinta yang sudah lama itu kadang bukan hilang, tetapi cuma tertimbun kesibukan. Jalan berdua itu kayak nyalain ulang koneksi WiFi hati yang sempat “no signal.”
Ulama besar Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa kasih sayang sejati dalam rumah tangga adalah ta’awwun fil mahabbah saling membantu dalam cinta dan kadang, bantuannya bukan uang atau tenaga, tetapi waktu. Waktu untuk mendengar, memahami, dan menatap tanpa tergesa.
Kedua, meningkatkan hormon bahagia alami. Secara ilmiah, jalan santai berdua bisa meningkatkan hormon oksitosin dan endorfin alias hormon cinta dan bahagia. Dalam bahasa emak-emak adalah hormon anti-ngedumel.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata, “Hati yang dipenuhi cinta akan lebih mudah bersyukur dan lebih sulit marah.”
Jadi, kalau setelah jalan bareng suami tiba-tiba pengin senyum terus, bukan berarti lagi jatuh cinta sama yang baru, tapi cinta yang lama lagi diperbarui. Cuma bedanya, sekarang lebih dewasa dan berisi doa.
Ketiga, menyegarkan kenangan lama. Lucunya, setiap kali jalan berdua, pasti ada aja hal kecil yang memantik kenangan. Lihat tukang es cendol lewat, langsung ingat masa muda. Dengar lagu lama, langsung saling senyum penuh kode.
Ibn Hajar Al-Asqalani menulis dalam Fathul Bari bahwa “kasih sayang yang terus dijaga dengan kebersamaan akan menumbuhkan mawaddah dan rahmah.”
Dan ternyata benar, nostalgia ringan bisa membuat cinta terasa muda lagi, tanpa perlu kosmetik atau filter kamera.
Keempat, membuka ruang komunikasi yang lebih jujur. Ngobrol di rumah sering kalah sama suara mesin cuci, panggilan kerja, atau anak yang minta tolong. Tetapi waktu jalan berdua, suasana jadi tenang. Banyak pasangan yang justru bisa bicara jujur tanpa harus debat.
Imam Al-Mawardi dalam Adab ad-Dunya wa ad-Din menulis bahwa komunikasi lembut antara suami istri adalah cermin dari akhlak yang lapang.
Jadi, kalau suami tiba-tiba ngomong, “kamu sekarang lebih sabar ya…” jangan langsung jawab, “dulu siapa yang bikin aku marah?” cukup senyum. Artinya, hatinya lagi nyentuh.
Kelima, bagian dari ibadah menjaga cinta karena Allah Ta’ala. Nah, ini inti segalanya. Dalam Islam, menjaga hubungan suami istri adalah ibadah.
Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam hal kelembutan. Beliau pernah berlomba lari dengan Aisyah ra., dan ketika kalah, beliau tertawa sambil berkata, “Suatu hari nanti aku akan balas.” (HR. Ahmad). Beberapa waktu kemudian, Rasulullah menang dan berkata, “Ini balasan kekalahanku dulu.” Manis, ya? Itu cinta yang ringan tapi berpahala.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan dalam An-Nizham al-Ijtima’i fil Islam, bahwa rumah tangga dalam Islam dibangun atas asas sakinah, mawaddah, dan rahmah, dan menjaga ketiganya adalah bentuk taqarrub ilallah mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Artinya, setiap langkah yang kita ambil bersama pasangan, setiap tawa yang kita bagi, setiap sabar yang kita tahan, semuanya bisa jadi pahala kalau niatnya karena Allah.
Jadi, jalan berdua bukan cuma soal romantis, tapi romantis yang bernilai akhirat. Bukan sekadar memegang tangan, tapi saling menggenggam hati dalam ridha Allah.
Sebab cinta yang tumbuh karena iman tidak lekang oleh usia, tetapi justru makin matang, makin tenang, makin berpahala.
Sekarang, setelah dua dekade lebih jadi istri dan ibu, aku baru benar-benar paham bahwa kebersamaan itu bukan tentang banyaknya waktu, tetapi tentang kesediaan untuk benar-benar hadir dan hari ini, ketika kami jalan berdua tanpa telepon dari nenek, tanpa tangisan bocah diseberang ponsel, "umi dimana? Janji jemput ya mik! Cepet ya mik!"
Aku tersenyum dalam hati. Ternyata, cinta tak perlu megah. Cukup dua langkah kecil yang seirama menuju ridha Allah Ta'ala. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

0 Komentar