Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kampung Moderasi: Harmoni Indah, Bertabur Virus Akidah


Topswara.com -- Program Kampung Moderasi Beragama terus bergulir di berbagai daerah. Di Hulu Sungai Utara, Desa Kota Raja menjadi salah satu pilot project yang dipromosikan pemerintah sebagai ruang dialog lintas agama dan laboratorium kerukunan sosial. 

Kegiatan tersebut dilaporkan oleh Radar Banjarmasin (23/10/2025) dan diperkuat dengan agenda sosialisasi toleransi yang digelar Kesbangpol Kalsel (21/10/2025).

Secara lahiriah, inisiatif ini patut diapresiasi. Negara memang berkewajiban memastikan harmoni sosial, ketertiban, dan keamanan antarwarga. 

Sekilas, program ini tampak mulia. Ajakan hidup rukun, damai, dan tidak saling curiga tentu terasa positif. Namun di balik slogan harmoni itu, seyogianya dipertanyakan; moderasi beragama menjaga iman umat atau justru menipiskannya?

Sejatinya, program kampung moderasi tidak sekadar sosial, tetapi ideologis. Ia lahir dari paradigma sekuler liberal yang memosisikan agama hanya sebagai ruang privat dan memandang ekspresi beragama yang tegas sebagai ancaman stabilitas sosial. 

Toleransi yang dimaksud bukan ketundukan kepada nilai agama masing-masing, melainkan keseragaman dalam berpikir bahwa semua keyakinan harus diperlakukan sama, bahkan dalam hal kebenaran.

Inilah problemnya. Moderasi beragama menggeser tolok ukur kebenaran dari wahyu menjadi harmoni sosial. Klaim kebenaran agama dianggap “virus intoleransi”. Akibatnya, umat perlahan didorong untuk memandang akidah sebagai urusan personal, bukan dasar kehidupan. Yang dijaga bukan keteguhan iman, melainkan citra keterbukaan.

Bahaya seperti ini tidak selalu tampak. Ia bekerja diam-diam, lewat wacana yang terlihat positif, tapi sesungguhnya menggembosi keyakinan. Sebuah pendangkalan akidah yang halus.

Padahal Islam tidak pernah mengajarkan paksaan dalam beragama, sekaligus tidak pernah mengaburkan kebenaran. Allah berfirman: “Kebenaran telah datang, dan kebatilan pasti lenyap.”
(QS. Al-Isra’: 81)

Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini menjadi dalil bahwa kebenaran selalu menang atas kebatilan; bila keduanya bertemu, kebatilan akan runtuh meski sekuat apa pun tampaknya. Maka dari itu, Islam tidak memerintahkan kompromi nilai tetapi keadilan dalam penerapan syariat kepada seluruh manusia.

Rasulullah SAW bersabda:“Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.”
(HR. Ad-Daraquthni)

Artinya, Islam tidak boleh diturunkan untuk menyamai standar ideologi lain. Toleransi dalam Islam bukan tunduk kepada pluralisme, melainkan tasamuh yang adil menjamin hak non-Muslim tanpa mengorbankan akidah umat.

Sistem sekuler-liberal hari ini ingin agama tetap ada, tapi tanpa kekuatan. Tetap boleh dipeluk, tetapi tidak boleh memimpin. Dan kampung moderasi menjadi salah satu instrumen untuk memastikan agama “jinak” dalam bingkai politik nasional, bukan membentuk umat yang teguh berjuang menegakkan nilai Islam kaffah dalam institusi negara khilafah. 

Maka jalan terbaik bagi bangsa ini bukanlah membangun harmoni semu yang mengikis identitas, tetapi menguatkan akidah umat dan menegaskan fungsi agama sebagai pedoman hidup, bukan sekadar simbol toleransi.

Indonesia tidak butuh moderasi beragama.
Indonesia butuh masyarakat beriman yang kokoh dan sistem yang adil berdasarkan petunjuk Allah.

Itulah jaminan kedamaian sejati bukan karena kompromi, tapi karena kebenaran yang tegak dan keadilan yang nyata. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar