Topswara.com -- DPRD Kalimantan Selatan kembali menggencarkan sosialisasi revitalisasi Pancasila dan menargetkan berbagai lapisan masyarakat, termasuk ibu-ibu rumah tangga.
Program ini diklaim untuk menanamkan nilai kebangsaan di kehidupan keluarga dan mencegah infiltrasi ideologi sejak ruang domestik (tribunnews.com, 24/10/2025).
Sekilas, slogan “Ibu benteng Pancasila” terdengar mulia. Ada kesan penghormatan terhadap perempuan sebagai penjaga generasi. Tetapi dalam realitas politik sekuler, jargon yang tampak mulia sering menjadi bungkus halus bagi tujuan lain: distribusi ideologi negara melalui ruang keluarga.
Dalam sistem yang memandang ideologi negara sebagai alat stabilitas politik, perempuan terutama ibu sering diposisikan sebagai kanal soft power paling efektif. Negara menyuarakan pemberdayaan, namun kenyataannya, ruang privat dijadikan arena penanaman doktrin negara.
Di atas kertas, ibu disebut “diberdayakan”. Namun faktanya, mereka dijadikan pintu propaganda paling mudah diakses. Pemerintah menggunakan figur ibu untuk merapikan legitimasi ideologi, bukan untuk menyelesaikan persoalan nyata yang dihadapi keluarga: tekanan ekonomi, akses pendidikan yang timpang, budaya hedonis yang difasilitasi media, hingga krisis moral akibat liberalisme yang dilegalkan negara.
Di titik ini, jargon indah berubah menjadi instrumen kontrol: bukan memerdekakan ibu, tetapi memanfaatkan figur ibu untuk menopang sistem yang mulai kehilangan pegangan ideologisnya.
Padahal kerentanan ideologi bangsa bukan lahir dari kurangnya hafalan nilai di rumah. Ia lahir dari luka sosial yang lebih dalam: ketimpangan ekonomi yang menjerat keluarga miskin, pendidikan yang mahal dan berorientasi pasar, media permisif yang merusak moral anak, dan negara yang gagal menyediakan keadilan sosial sebagai pondasi ketahanan bangsa.
Selama sumber masalah ini tidak diselesaikan, menyuruh ibu menjadi benteng ideologi hanyalah meletakkan beban negara di pundak perempuan yang sudah lelah bertarung dengan realitas hidup.
Di sinilah Islam berbicara jauh lebih jernih dan adil. Islam tidak mengenal konsep menyerahkan stabilitas umat kepada satu sosok manusia, apalagi hanya seorang ibu.
Dalam pandangan Islam, terutama dalam sistem khilafah, stabilitas akidah bukan retorika, tapi struktur hidup. Ideologi tidak hidup sebagai semboyan, tapi menjadi pondasi hukum, pendidikan, ekonomi, politik, dan budaya.
Ibu memang madrasah ula yakni pendidik pertama tetapi bukan tameng sistem manusia. Ia adalah penjaga fitrah, penanam iman, pembentuk kepribadian Islam yang membuat anak mengenal Rabb-nya sebelum mengenal negara.
Khilafah tidak memuja ibu sebagai simbol propaganda, lalu membiarkannya berjuang sendirian.
Negara Islam menanggung kebutuhan pokok: pendidikan yang bebas biaya dan berkualitas, layanan kesehatan dan ekonomi yang memastikan keluarga tidak runtuh oleh kemiskinan, lingkungan sosial yang bersih dari arus maksiat yang sekarang dibiarkan atas nama kebebasan, serta kurikulum yang membangun kepribadian Islam sejak kecil.
Dengan itu semua, ibu tidak dibiarkan menegakkan akidah di ruang keluarga ketika ruang publik dikuasai sekularisme. Ia tidak menjadi benteng rapuh menghadapi serangan ideologi asing; ia menjadi bagian dari bangunan kokoh peradaban Islam yang tegak dari negara hingga rumah tangga.
Maka jelas, masalah bangsa ini bukan kurangnya ibu yang ditugasi melindungi negara. Masalahnya adalah sistem yang menempatkan manusia sebagai pusat kebenaran, lalu menyuruh ibu menutupi retaknya.
Narasi “ibu benteng Pancasila” terlihat "pahlawanik," tetapi tanpa perubahan struktur, ia hanya simbol. Islam mengangkat derajat ibu bukan dengan slogan, tetapi dengan sistem yang menopang perannya dan menjadikan iman sebagai napas kehidupan, bukan hafalan ringan untuk acara seremonial kenegaraan.
Ketahanan ideologi tidak akan datang dari rumah yang dibebani propaganda, tetapi dari negeri yang berhukum dengan wahyu. Bukan dari slogan moderasi, tetapi dari penerapan Islam kaffah.
Dan ketika sistem itu tegak, ibu tidak sekadar menjadi “benteng”, ia menjadi pondasi peradaban yang melahirkan generasi pembawa cahaya bukan penjaga ideologi buatan manusia, tetapi penjaga risalah Allah. []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)

0 Komentar