Topswara.com -- Kadang hidup terasa seperti drama yang naskahnya ditulis bukan oleh kita. Ada babak senang, lalu tiba-tiba muncul tokoh antagonis yang datang tanpa diundang, meninggalkan luka tanpa permisi.
Namun di tengah semua itu, satu hal pasti, kita tetap punya pilihan untuk tetap menjadi baik. Banyak orang berubah karena disakiti, tapi sedikit yang tetap lembut walau pernah dihancurkan.
Padahal justru di situlah ujian sejati seorang mukmin, bukan pada seberapa keras ia membalas, tapi seberapa kuat ia tetap berbuat baik meski sudah pernah dijahati.
Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari dalam al-Hikam menulis, “Janganlah kesedihanmu karena adanya musibah membuatmu lupa bahwa itu adalah ketetapan dari Allah. Karena siapa yang mengenal hakikat takdir, maka ia akan ridha terhadap apa yang Allah tetapkan.”
Kalimat itu menampar lembut, tapi dalam.
Bahwa tidak ada satu pun kejadian bahkan kejahatan orang terhadap kita yang luput dari izin Allah.
Mungkin hati kita sakit, tapi di sisi Allah, setiap luka yang diterima karena kesabaran adalah tanda cinta yang tersembunyi.
Hidup ada tiga masa. Pertama, masa lalu.
Itu sudah selesai. Tak perlu disesali karena ia terjadi dengan izin Allah. Jika pahit, anggaplah itu ramuan penyembuh ego. Jika manis, syukurilah karena itu hadiah dari keikhlasanmu dulu.
Imam Ibnul Qayyim pernah berkata, “Orang berakal bukanlah yang menyesali masa lalu, tetapi yang mengambil pelajaran darinya.” Karena sesungguhnya, penyesalan takkan bisa mengubah takdir, tapi pelajaran darinya bisa mengubah masa depan.
Kedua, masa sekarang.
Inilah waktu terbaik untuk memperbaiki diri, menambah ilmu, memperbanyak amal, dan menyembuhkan hati.
Jangan biarkan luka masa lalu mencuri ketenangan hari ini. Seperti yang diingatkan oleh Imam Al-Ghazali, “Waktu yang paling berharga adalah saat ini. Karena masa lalu tak bisa kau ubah, masa depan belum tentu kau temui.”
Jadi, jangan habiskan masa sekarang dengan membenci orang yang dengan sengaja dan sadar telah menyakitimu. Sibuklah dengan memperbaiki hubunganmu dengan Allah, bukan membalas luka dari manusia.
Ketiga, masa depan. Itu rahasia Allah. Kita tidak tahu apakah umur kita masih panjang, apakah rencana kita terwujud, atau apakah orang yang menyakiti kita masih sempat meminta maaf.
Semuanya dalam genggaman-Nya.
Allah SWT berfirman, “Dan tidak ada suatu jiwa pun yang dapat mengetahui apa yang akan dikerjakannyab besok.” (QS. Luqman: 34)
Karena itu, jangan terlalu sibuk menebak masa depan, lebih baik sibuk menyiapkan diri agar siap bila ajal tiba.
Berdamailah dengan masa lalu, bukan karena mereka pantas dimaafkan, tetapi karena hatimu pantas mendapatkan ketenanganmu kembali. Jangan biarkan kepahitan yang sudah lewat mencuri kebahagiaanmu yang baru tumbuh.
Syaikh Ibnu Atha’illah berkata, “Salah satu tanda Allah memuliakanmu adalah ketika Ia menjadikanmu sabar terhadap ujian, bukan sekadar sabar menunggu pertolongan.”
Lihatlah, betapa lembut cara Allah mendidik kita. Kadang Ia izinkan orang lain menyakiti kita bukan untuk merendahkan, tapi untuk mengangkat derajat kita di sisi-Nya.
Sakit itu sementara, tetapi pahala sabar tak terhingga. Jangan pula sampai kehilangan jati diri hanya karena ingin terlihat kuat. Orang yang benar-benar kuat bukan yang bisa membalas, tetapi yang tetap lembut meski bisa menghancurkan.
Seperti kata Imam Syafi’i rahimahullah, “Ketika engkau disakiti, jangan balas dengan cara yang sama. Sebab perbedaanmu dengan mereka adalah akhlakmu.”
Maka tetaplah jadi orang baik, bukan karena mereka pantas, tapi karena engkau berharga. Kamu bukan definisi dari luka yang mereka berikan, tapi dari cara kamu menyembuhkan diri setelahnya.
Biarlah mereka jahat, biarlah mereka tega. Kamu tak perlu membalas cukup jangan ikut jadi mereka. Biarlah mereka mengkhianatimu, asal kamu tak mengkhianati Allah.
Biarlah mereka menutup pintu, asal kamu tak menutup hatimu dari kebaikan. Sebab Allah melihat segalanya, dan pembalasan terbaik selalu datang dari arah yang tak disangka-sangka.
Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata, “Jika engkau berbuat baik kepada orang yang menyakitimu, maka engkau telah mengikat hatinya dengan tali yang lebih kuat daripada tali balasan.”
Begitu indah Islam mengajarkan kita mengelola luka. Bukan dengan dendam, tapi dengan doa. Bukan dengan balas kejahatan, tetapi dengan menguatkan iman. Karena pada akhirnya, hidup ini bukan tentang siapa yang paling kuat menjatuhkan, tapi siapa yang paling kuat bertahan tanpa kehilangan cahaya.
Bersyukurlah bila kamu pernah dijahati, itu tanda Allah sedang mendidik hatimu agar semakin halus, bukan semakin keras. Bersyukurlah bila kamu bisa memaafkan, itu tanda Allah sedang memuliakanmu di mata malaikat.
Dan bersyukurlah bila kamu masih bisa tersenyum, itu tanda Allah masih menjaga hatimu dari gelapnya dendam. Tetaplah menjadi baik, walau pernah dijahati.
Karena kebaikanmu bukan untuk mereka, tapi untuk dirimu sendiri di hadapan Allah.
Dan pada akhirnya, hanya Allah yang tahu seberapa keras kamu menahan diri agar tetap berakhlak ketika dunia menuntutmu untuk marah. Sebab pada hari ketika semua orang mencari keselamatan,
tidak ada yang bisa menolongmu kecuali amalmu sendiri.
Maka berdirilah dengan tenang, wahai hati yang pernah terluka. Kamu tidak kalah karena disakiti, kamu justru menang karena tidak ikut menyakiti dan itulah tanda bahwa hatimu telah menjadi kuat. Kuat karena ridha, dan lembut karena cinta dari Allah SWT. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

0 Komentar