Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tambang Rugi, tetapi Kapitalisme Beri Karpet Merah untuk Oligarki


Topswara.com -- Negeri ini tak pernah kehabisan kisah ironis. Di atas tanah yang diberkahi, kekayaan alam melimpah, tapi rakyat tetap hidup di bawah garis resah.
Setiap kali tambang dibuka, gunung digali, hutan ditumbangkan, yang tumbuh bukan kesejahteraan melainkan jurang ketimpangan.

Seperti kisah lama yang terus diputar ulang, kapitalisme selalu tahu cara membuat rakyat berharap pada fatamorgana bernama “tambang rakyat.”

Katanya tambang untuk rakyat. Tetapi faktanya, yang menambang tetap para sultan, yang rugi tetap negara, dan yang menanggung akibat tetap rakyat kecil. Begitulah saban kali sistem ini berputar, menghasilkan cerita lama dengan aktor baru hanya namanya saja berganti.

Baru-baru ini, Presiden Prabowo dalam pidatonya saat penyerahan aset Barang Rampasan Negara (BRN) dari enam smelter ilegal kepada PT Timah Tbk, beliau menyebutkan bahwa negara menderita kerugian Rp300 triliun akibat tambang ilegal (tempo.com, 7/10/2025).

Data Kementerian ESDM juga menunjukkan bahwa jumlah tambang bermasalah termasuk yang beroperasi tanpa izin mencapai ribuan titik di seluruh Indonesia (esdm.go.id, 22/08/2025).

Namun alih-alih memperketat pengawasan, pemerintah justru merilis kebijakan baru: pengelolaan tambang dan sumur minyak diserahkan kepada koperasi dan UMKM. Dalihnya: membuka lapangan kerja dan memutar ekonomi daerah
(esdm.go.id, 9/10/2025). 

Nama Rakyat, tetapi Modal Sultan

Sekilas kebijakan itu tampak indah. Tetapi siapakah yang benar-benar diuntungkan? Koperasi dan UMKM tidak memiliki modal, alat, atau keahlian untuk mengelola tambang. Akhirnya, mereka akan mencari pihak ketiga entah korporasi besar, investor, atau bahkan bekas pemain lama yang kini bersembunyi di balik bendera “rakyat”. Nama boleh rakyat, tetapi modal tetap para sultan.

Hasilnya bisa ditebak: tambang rakyat hanya bungkus baru bagi wajah lama kapitalisme. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), kebijakan ini justru memperbesar risiko kerusakan lingkungan dan konflik sosial (jatam.org,19/10/2025).

Kapitalisme Sekuler: Biang Kerusakan

Masalah ini bukan sekadar teknis, tetapi sistemis. Kapitalisme sekuler telah menjadikan tambang sebagai komoditas, bukan amanah. Negara bertindak seperti korporasi: menghitung sumber daya alam dari sisi untung-rugi fiskal, bukan maslahat umat. 

Tambang rugi, tetapi para oligarki tetap mendapat karpet merah. Mereka yang merusak diselamatkan dengan regulasi. Mereka yang mencuri diundang kembali untuk berinvestasi.

Selama sistem ini bercokol, kerusakan akan berulang, dan rakyat akan terus menanggung akibatnya.

Syariat Islam: Tambang Adalah Milik Umum

Dalam Islam, tambang termasuk milik umum (milkiyah ‘ammah). Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah) 

Para ulama menjelaskan bahwa “api” mencakup seluruh sumber energi dan tambang. Karena itu, negara wajib mengelolanya langsung, bukan menyerahkannya pada individu, korporasi, atau bahkan koperasi rakyat.

Imam Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal menegaskan bahwa sumber daya besar tidak boleh dimiliki individu karena menimbulkan ketimpangan. Negara wajib mengatur dan mendistribusikan hasilnya kepada rakyat.

Khilafah Islamiah menegakkan prinsip ini dengan nyata. Khalifah Umar bin Khaththab menolak membagi tambang emas dan perak kepada individu, karena itu milik seluruh kaum Muslimin. Hasil tambang digunakan untuk pelayanan publik, pendidikan, dan jaminan sosial tanpa utang dan tanpa korupsi.

Negara Pengurus, Bukan Regulator

Dalam sistem Islam, negara adalah ra’in pengurus urusan rakyat, bukan pelayan oligarki. Kebijakan ekonomi disusun berdasarkan hukum syariat, bukan kepentingan korporasi. 

Tambang besar dikelola negara, tambang kecil boleh dikelola rakyat namun semuanya tetap di bawah tanggung jawab negara, termasuk dampak lingkungannya. Dalam kapitalisme, negara tunduk pada pemilik modal. Dalam Islam, negara tunduk pada hukum Allah.

Jika Negeri Ini Beriman dan Bertakwa

Kita sedang menyaksikan negeri kaya sumber daya tetapi miskin kedaulatan. Rakyat hanya menonton dari balik pagar tambang, sementara hasil bumi diangkut keluar negeri, menyisakan debu dan janji.

Rp300 triliun hanyalah angka terbaru dari luka lama. Jika akar masalahnya tetap kapitalisme, tambang rugi akan terus berulang berganti nama, berganti dalih, tapi tetap menyisakan derita.

Maka solusi sejati bukan sekadar menata ulang tambang, tapi mengganti sistem yang salah. Karena tambang hanya akan menjadi berkah bila dikelola dengan syariat. Dan selama kapitalisme berkuasa, tambang rugi akan terus terjadi
sementara oligarki tinggal duduk manis menikmati. 

Maha Benar firman Allah SWT, “Dan sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka.” (QS. Al-A’raf: 96). []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida 
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar