Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Realitas Pahit Optimisme Swasembada Beras


Topswara.com -- Pemerintah belakangan ini kembali melontarkan optimisme bahwa Indonesia akan mampu mencapai swasembada beras tahun ini. Keyakinan ini didasarkan pada klaim bahwa stok beras nasional berada pada level yang tinggi. 

Namun, di balik optimisme tersebut, kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Data menunjukkan, harga beras masih bertahan tinggi di 214 daerah. 

Pemerintah sedang bergulat dengan harga beras yang masih mahal atau lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) di 214 kabupaten. Mahalnya harga beras di 214 daerah awalnya diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. (m.kumparan.com, 05/09/2025)

Untuk meredam gejolak harga, pemerintah menyalurkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Sayangnya, kebijakan ini gagal menurunkan harga beras. Harga tetap mahal, sementara beras SPHP tidak banyak diminati masyarakat.

Salah satu masalah yang mengemuka adalah penyaluran beras SPHP yang tidak optimal. Di sisi lain, masyarakat miskin yang selama ini mengandalkan bantuan pangan beras, justru terancam tidak lagi mendapatkannya. 

Alasannya, anggaran bantuan pangan beras dialihkan untuk program SPHP. Konsekuensinya, rakyat miskin diarahkan untuk membeli beras SPHP, bukan lagi menerima beras gratis.

Masalah lain muncul pada aspek kualitas. Banyak masyarakat mengeluhkan mutu beras SPHP yang dinilai rendah. Meskipun harganya lebih murah dibanding beras medium lainnya, kualitas beras SPHP dinilai rendah sehingga kurang diminati pembeli. (Jtv.madiun,28/09/2025)
Bahkan, sejumlah toko ritel enggan menjualnya karena khawatir kehilangan konsumen.

Mimpi pemerintah untuk mencapai swasembada beras berhadapan dengan kenyataan tingginya harga. Stok yang melimpah justru menjadi ironi ketika harga beras tidak kunjung turun. 

Akibatnya, beras menumpuk di gudang Bulog. Sungguh sebuah realitas yang pahit ditengah optimisme pemerintah untuk bisa swasembada beras. Ombudsman bahkan menyoroti fenomena “obesitas Bulog,” di mana beras yang terlalu lama disimpan berisiko menurun kualitasnya.

Langkah stabilisasi harga melalui beras SPHP terbukti tidak efektif. Sebab, persoalan harga beras bersifat sistemis, terkait tata kelola perberasan nasional dari hulu hingga hilir. Bulog sendiri menghadapi masalah tata kelola, sehingga beras lebih sering menumpuk di gudang daripada sampai ke konsumen.

Lebih jauh, praktik oligopoli dalam tata niaga beras menjadi faktor dominan yang membuat harga sulit terkendali. Selama oligopoli tidak diberantas, harga beras akan tetap tinggi, meski stok melimpah. 

Dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai regulator, sekadar memastikan ketersediaan stok tanpa benar-benar menjamin keterjangkauan harga.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang negara sebagai ra'in (pengurus rakyat) yang wajib memastikan ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau hingga sampai ke tangan konsumen. 

Negara tidak boleh hanya berhenti pada urusan stok di gudang atau pasar, tetapi harus menjamin distribusi berjalan lancar tanpa permainan harga.

Dalam sistem Khilafah, tata kelola perberasan akan dibenahi dari hulu hingga hilir. Mulai dari produksi, penggilingan, hingga distribusi ke konsumen, semuanya diatur agar terbebas dari praktik haram yang merusak, seperti oligopoli. 

Negara juga tidak segan memberikan bantuan beras gratis bagi rakyat miskin, dengan anggaran yang diambil dari baitulmal bukan dari utang atau subsidi semu.

Swasembada beras sejatinya bukan sekadar persoalan stok. Ia menuntut tata kelola sistem pangan yang benar-benar menyejahterakan rakyat. Dalam sistem kapitalisme, swasembada beras mudah berubah menjadi sekadar janji PHP (pemberi harapan palsu), karena negara tidak hadir secara riil dalam menjamin kebutuhan pokok rakyat.

Sebaliknya, dalam khilafah, swasembada beras dengan harga terjangkau dapat terwujud nyata. Negara memastikan ketersediaan pangan yang merata, harga yang stabil, dan distribusi yang adil. Inilah solusi hakiki yang akan mengakhiri ironi beras menumpuk di gudang sementara rakyat tetap kesulitan membeli. 

Wallahu 'alam.


Oleh: Lia Julianti 
Aktivis Dakwah Tamansari Bogor
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar