Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Gen-Z dan Jalan Perubahan Hakiki


Topswara.com -- Fenomena keterlibatan generasi Z dalam aksi sosial menunjukkan adanya gejolak kesadaran di tengah anak muda. Dari unjuk rasa, ekspresi di media sosial, hingga kreativitas menyampaikan aspirasi, Gen-Z menyimpan potensi besar untuk perubahan. 

Psikolog Anastasia Satriyo menyebut, generasi ini memiliki mekanisme pertahanan unik: memilih menghadapi tekanan secara konstruktif melalui meme, poster kreatif, atau estetika visual, bukan tindakan destruktif (Zetizens.id, 9 September 2025). Artinya, ekspresi Gen-Z adalah keberanian menghadapi realitas, bukan sekadar luapan emosi.

Namun potensi ini sering direduksi oleh narasi psikologis ala kapitalisme. Gen-Z ditempatkan dalam kotak sempit: dipandang hanya dari sisi emosi, psikologi, atau gaya komunikasi unik. 

Mereka dipisahkan dari kesadaran politik dan perjuangan melawan sistem zalim. Kapitalisme sengaja mengalihkan energi muda ke ruang personal: gaya hidup, identitas, dan ekspresi kreatif, agar jauh dari perjuangan sistematis. 

Padahal sejak awal penciptaannya, manusia memiliki naluri mempertahankan hidup (gharizah al-baqa) yang mendorongnya menolak ketidakadilan. Naluri ini melekat pada semua manusia, termasuk Gen-Z.

Dengan kata lain, klasifikasi generasi hanyalah strategi politik menjinakkan potensi perubahan. Anak muda dilabeli emosional dan belum matang, sehingga aksi mereka mudah dicap destruktif. Inilah cara sistem hari ini mengamputasi potensi Gen-Z agar tak mengguncang tatanan.

Islam memandang manusia bukan sekadar objek psikologi yang perlu diarahkan lewat terapi. Islam menegaskan manusia memiliki fitrah: kebutuhan ruhiyah, jasadiyah, dan naluri yang dipenuhi sesuai syariat. 

Jika syariat dijadikan pedoman, pemenuhan kebutuhan mengantarkan pada ketenangan, bukan kepuasan psikologis sementara. Lebih dari itu, Islam mengatur mekanisme umat, termasuk pemuda, untuk bersuara terhadap kezaliman. Allah SWT berfirman:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125).

Ayat ini menegaskan, perjuangan melawan kezaliman tidak boleh berhenti pada ekspresi emosional. Harus ada tuntunan syariat yang mengarahkan perjuangan agar kritik dan perlawanan memiliki pijakan kuat. 

Dalam sejarah Islam, pemuda selalu berperan penting. Hamzah bin Abdul Muthalib dikenal sebagai pemimpin para syuhada, Mush‘ab bin Umair menyiarkan Islam di Madinah, sementara Ali bin Abi Thalib membela Rasulullah Saw. sejak usia belia. Rasulullah Saw. pun menyebut orang yang berani menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim sebagai jihad terbaik.

Sejarah ini membuktikan energi muda tidak boleh diarahkan hanya pada hiburan kreatif atau ekspresi keresahan sesaat. Energi mereka adalah bahan bakar kebangkitan jika dituntun oleh ide benar dan tujuan mulia. 

Perubahan hakiki hanya terwujud dengan tegaknya syariat secara kaffah dalam bingkai khilafah. Sistem inilah yang menyalurkan potensi pemuda untuk menegakkan keadilan dan meruntuhkan kezaliman.

Kini, kapitalisme semakin nyata menindas: regulasi yang memihak korporasi, hajat hidup diserahkan pada segelintir elit, dan rakyat dipinggirkan. Suara generasi muda tidak boleh dibungkam. Mereka tidak boleh puas sekadar mengisi konten kreatif atau menjadi pelengkap aksi jalanan yang cepat redup. 

Kesadaran harus diarahkan pada perubahan mendasar: bukan hanya pergantian pemimpin atau perbaikan kebijakan, melainkan perubahan sistemik yang menyeluruh.

Gen-Z, dengan akses informasi luas, memiliki peluang besar menjadi pelopor kebangkitan umat. Mereka bisa menghubungkan fakta penindasan dengan solusi Islam yang komprehensif. Mereka dapat menjadi garda terdepan dakwah politik Islam, membangun kesadaran bahwa hanya Islam menghadirkan keadilan sejati.

Sejarah Islam mencatat pemuda sebagai motor perubahan peradaban. Energi, keberanian, dan idealisme mereka menjadi penentu arah umat. 

Maka generasi Z hari ini dihadapkan pada pilihan penting: tetap menjadi objek kapitalisme yang dipetakan sebatas psikologi dan gaya hidup, atau bangkit sebagai subjek perubahan hakiki, mengembalikan kemuliaan umat melalui Islam kaffah.

Pilihan kedua inilah yang akan menorehkan sejarah, bukan sekadar trending sesaat di jagat maya.[]


Penulis: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar