Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Negara Abai, Kapitalisme Jadikan Perempuan Mesin Ekonomi


Topswara.com -- Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) kembali meluncurkan program peningkatan kemampuan usaha keluarga yang melibatkan ratusan perempuan. 

Program ini berisi pelatihan kewirausahaan, bantuan peralatan, hingga pendampingan UMKM. Tujuannya untuk menambah penghasilan rumah tangga di tengah tekanan ekonomi.

Sekilas, langkah ini terlihat positif. Perempuan diberi ruang berdaya, keluarga terbantu, dan daerah seakan serius menekan angka kemiskinan. Namun, di balik itu ada pertanyaan besar: apakah ini solusi hakiki atau sekadar tambal sulam?

Kapitalisme Menggeser Peran Perempuan

Kapitalisme menempatkan perempuan sebagai roda ekonomi tambahan. Ketika biaya hidup terus naik sementara pendapatan suami tak mencukupi, perempuan didorong bahkan dipaksa ikut menopang nafkah, maka pemberdayaan itu lahir dari keterpaksaan. Di sinilah masalah muncul. 

Pertama, peran utama perempuan sebagai pendidik generasi dan pengelola rumah tangga bergeser. Ibu yang seharusnya fokus membangun karakter anak, kini terkuras waktunya untuk urusan bisnis. 

Kedua, orientasi material makin kuat. Perempuan dihargai sejauh ia menghasilkan rupiah, bukan karena kedudukannya yang agung dalam keluarga. 

Ketiga, akar persoalan kemiskinan justru tidak tersentuh. Program ini hanya mengalihkan beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara ke pundak perempuan. 

Khilafah Menjamin Kesejahteraan Perempuan

Islam menempatkan kewajiban nafkah di tangan suami. Rasulullah SAW bersabda bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Artinya, yang wajib memastikan kebutuhan keluarga tercukupi adalah suami, bukan istri.

Islam menempatkan perempuan sebagai makhluk mulia yang berhak memiliki, mengelola, dan mengembangkan harta sebagaimana laki-laki. Namun, Islam juga menegaskan peran utama perempuan sebagai pengatur rumah tangga (ummun wa rabbah bayt). 

Apabila tugas utama itu sudah tertunaikan, maka perempuan tetap memiliki ruang untuk berkiprah dalam kehidupan publik, termasuk bisnis sebagaimana dicontohkan oleh Sayyidah Khadijah ra.

Selain memberikan kesempatan berkarya, Islam menjamin kebutuhan dasar perempuan tanpa menuntut mereka bekerja keras menanggung diri sendiri. Ada beberapa mekanisme strategis yang telah ditetapkan syariat.

Pertama, kewajiban nafkah berada di pundak laki-laki. Seorang ayah atau suami wajib mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Allah SWT berfirman, “kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (QS. al-Baqarah [2]: 233). 

Bahkan Allah memerintahkan agar perempuan ditempatkan di rumah sesuai kemampuan suami tanpa menimbulkan kesempitan (QS. ath-Thalaq [65]: 6).

Kedua, bila seorang laki-laki tidak mampu menafkahi keluarganya, maka kewajiban itu beralih kepada ahli waris. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya, “Ahli waris pun berkewajiban demikian” (QS al-Baqarah [2]: 233).

Ketiga, jika ahli waris tidak ada atau tidak mampu, maka nafkah menjadi tanggung jawab kerabat yang memiliki kemampuan. Rasulullah SAW bersabda bahwa harta peninggalan diberikan kepada keluarga terdekat, tetapi jika meninggalkan hutang atau tanggungan, maka menjadi urusan kaum Muslim dan Rasul adalah pelindung mereka (HR Bukhari-Muslim).

Jika semua mekanisme ini tidak mencukupi, maka negara dalam sistem khilafah wajib hadir memenuhi kebutuhan rakyat, baik laki-laki maupun perempuan. Negara membiayai kebutuhan itu dari zakat, infak, sedekah, serta pengelolaan kekayaan alam. 

Dengan demikian, perempuan tidak perlu dipaksa bekerja keras demi menutupi kebutuhan hidup, apalagi sampai menjadi buruh kasar atau migran yang rentan pelecehan hingga kehilangan nyawa. Islam menjamin mereka terlindungi, terhormat, dan sejahtera melalui mekanisme nafkah dan pengelolaan negara yang adil.

Program peningkatan usaha keluarga di HSS mungkin lahir dari niat baik, tetapi selama ia berada dalam kerangka kapitalisme, hasilnya hanya bersifat tambal sulam. Ia justru berisiko melanggengkan eksploitasi perempuan dengan membebankan tanggung jawab ekonomi yang semestinya bukan di pundak mereka.

Islam hadir dengan solusi hakiki, menegakkan kewajiban nafkah pada suami, menjadikan negara sebagai penjamin kebutuhan rakyat, dan memuliakan perempuan pada peran utamanya. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida 
(Aktivis Muslimah Banua) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar