Topswara.com -- Hati ini terasa hancur dan remuk dalam kekecewaan teramat dalam setelah membaca isi surat wasiat seorang ibu EN (34) di Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang mengungkapkan penderitaan, dan rasa kesal terhadap suaminya disebabkan tekanan ekonomi dan utang keluarga.
Hingga akhirnya memutuskan untuk bunuh diri, setelah meracuni kedua anaknya yang berusia 9 Tahun dan 11 bulan (metronews.com, 9/9/2025).
Sebelumnya kasus serupa juga terjadi di Pantai Sigandu, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Seorang ibu berinisial VM (31) mengajak kedua anak perempuannya yang berusia 6 dan 3 tahun ke tengah laut hingga akhirnya tenggelam dan tewas.
Sedangkan ibunya hanya terseret ombak hingga ke tepi pantai, lalu bersembunyi di dalam toilet portabel di sekitar lokasi kejadian (antaranews.com, 4/8/2025).
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti kasus ini sebagai filisida maternal, yakni pembunuhan anak atau tindakan sengaja orang tua membunuh anaknya.
Kasandra mengungkapkan bahwa kasus seperti ini tidak boleh dipandang dari sisi hukum saja, tetapi seharusnya menjadi alarm bagi masyarakat dan negara dalam membangun dukungan sosial yang lebih kokoh bagi keluarga yang rentan (metronews.com, 9/9/2025).
Fenomena kasus berulang ini menyisakan tanda tanya besar. Apa sebenarnya yang ada di benaknya hingga tega melakukan perbuatan di luar nalar?
Sebagaimana fitrahnya seorang ibu adalah orang yang paling besar kasih sayangnya kepada anak. Ibu rela mengorbankan apa pun demi melindungi sang anak dari ancaman dan bahaya yang menimpanya.
Kalau akhirnya ibu malah membunuh anaknya, pasti ada faktor yang menyebabkan kejiwaannya terganggu dan harus dianalisis secara mendalam.
Di antaranya faktor psikologis yakni banyak ibu mengalami depresi hingga stres berkepanjangan setelah melahirkan. Kondisi ini membuatnya putus asa, tidak bisa berpikir jernih, akhirnya memutuskan membunuh anaknya karena khawatir tidak mampu memenuhi kebutuhannya.
Faktor sosial, pasangan dan keluarga kurang memperhatikan kebutuhan mental dan psikologis ibu, yang membuatnya merasa diasingkan.
Konflik rumah tangga yang berujung KDRT, perselingkuhan hingga perceraian membuat ibu merasa gagal dalam menjalankan perannya, akhirnya memilih mengakhiri hidup.
Faktor perekonomian juga sangat mempengaruhi, utang yang terus bertambah, harga kebutuhan pokok terus naik, biaya pendidikan dan kesehatan mahal, sulitnya mencari pekerjaan, yang menjadikan beban hidup semakin berat.
Faktor-faktor tersebut merupakan masalah yang kompleks dan sistemis, dampak dari sistem rusak yang diterapkan yakni kapitalis. Ibu tidak hanya dituntut mengurus keluarga tetapi juga turut mencari nafkah disebabkan penghasilan suami kurang atau tidak bekerja.
Akhirnya tugas ibu yang harusnya mengurus anak-anak di rumah dengan penuh kasih sayang, berubah menjadi penuh beban, kelelahan, putus asa, dan depresi karena hidup harus ditanggung sendirian tanpa adanya jaminan dari negara.
Maka fenomena filisida maternal ini menunjukkan ketika aturan agama dijauhkan dari kehidupan (sekularisme), maka kehidupan manusia jauh dari fitrahnya. Bahkan siapa pun yang hidup dalam sistem ini akan membentuk mental individu yang sakit dan juga rapuh, sebab aturan hidupnya berasal dari manusia yang lemah dan terbatas.
Kasus filisida maternal ini tidak bisa hanya diselesaikan melalui konseling keluarga, dukungan sosial atau sistem perlindungan Anak dan perempuan saja. Langkah ini bukan solusi tuntas karena tidak menyentuh akar masalah, sehingga kasus yang sama akan terus terjadi lagi.
Solusi tuntasnya adalah kembali menerapkan aturan agama yakni Islam dalam kehidupan. Sebab Islam mendudukkan perempuan begitu mulia, dengan posisinya sebagai seorang ibu dan madrasah pertama untuk anak-anaknya. Sebab ibu adalah awal mula terlahirnya generasi dan terbentuknya masyarakat terbaik.
Maka Islam menjamin kebahagiaan ibu dalam menjalankan fungsinya, ia tidak dituntut mencari nafkah melainkan dijamin nafkahnya melalui jalur suami dan para wali. Sebagaimana Allah SWT berfirman,
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf" (QS. Al-Baqarah: 233).
Ketika ibu sedang hamil dan menyusui, Islam juga memberikan keringanan dibolehkannya untuk tidak puasa sebagai perlindungan kesehatannya dan bayinya.
Ibu juga dimuliakan kapasitasnya, Islam mewajibkan negara memastikan para ayah dan suami bisa bekerja mencari nafkah, menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok, keamanan, pendidikan termasuk pelayanan kesehatan fisik dan mental secara gratis.
Supaya perempuan bisa menjadi ibu yang sempurna, membutuhkan adanya sistem kehidupan yang mendukungnya secara paripurna. Sistem seperti ini hanya ada dalam Islam, yang mampu menjamin setiap ibu dapat menjalankan perannya dengan penuh kasih sayang dan ketulusan. []
Oleh: Desi Rahmawati
(Aktivis Muslimah)
0 Komentar