Topswara.com -- Ada orang yang kalau sendirian merasa kesepian. Ada juga yang kalau sendirian malah panik, bingung mau ngapain. Tetapi ada satu manusia unik di muka bumi ini, yaitu penulis. Nah, penulis tuh kadang justru seneng banget kalau sendirian. Kenapa? Karena di situlah ide-ide bisa lahir, bertumbuh, bahkan meledak kayak popcorn baru keluar dari panci.
Coba bayangin, sendirian di kamar atau di cafe ditemani secangkir kopi (atau teh tubruk, terserah), terus ada suara hujan rintik di luar. Itu bukan suasana mellow, tetapi justru surga dunia buat penulis. Otak langsung sibuk, "Eh, gimana kalau tokoh ini aku kasih plot twist? Eh, gimana kalau opini ini aku bawa ke arah kocak? Eh, gimana kalau..." pokoknya eh-eh enggak ada habisnya.
Kesendirian buat penulis itu bukan kutukan, tetapi laboratorium ide. Kalau rame-rame, malah buyar. Baru mau nulis dua kalimat, eh ada yang teriak, "Umi, kaos kaki sebelahku mana!" Lah, gimana mau fokus kalau jemari sudah disuruh milih antara keyboard dan bongkar-bongkar laci lemari.
Makanya banyak penulis yang kelihatannya penyendiri. Jangan salah paham dulu. Bukan berarti mereka antisosial atau benci keramaian. Tetapi mereka butuh ruang kosong biar bisa ngobrol sama pikirannya sendiri. Iya, penulis itu sering jadi bestie sama otaknya sendiri dan percayalah, obrolan itu seru banget.
Saking serunya, kadang bisa bikin lupa waktu. Jam sembilan malam niatnya ngetik sebentar, tahu-tahu sudah hampir tengah malam, tetapi enggak sampai mata panda. Hati jadi bahagia karena ide mengalir lancar kayak jalan tol pas subuh.
Kalau ditanya, “enggak bosan apa sendirian terus?”
Jawaban penulis biasanya simpel, “enggak, wong kepalaku rame ide.”
Karena dalam kepalanya sudah ada ratusan karakter, cerita, opini, bahkan konflik global yang menunggu ditumpahkan. Jadi, walau tampak duduk sendirian, sebenarnya penulis lagi ada di pesta ide super heboh.
Ada juga yang bilang, “tetapi kalau sendirian kan kesannya sepi banget.”
Nah, buat penulis, sepi itu justru indah. Sepi itu kayak papan kosong yang siap digambar. Kalau rame, malah kayak papan tulis penuh coretan, bingung mau mulai dari mana.
Tetapi jangan salah. Meski senang sendiri, penulis tetap butuh dunia luar. Soalnya ide enggak turun kayak hujan meteor. Kadang dia lahir dari obrolan singkat, kadang dari lihat berita absurd, atau sekadar dari drama ibu-ibu rebutan ember diskon di minimarket. Jadi, kesendirian itu penting buat meracik ide, tetapi kehidupan sosial tetap jadi bahan baku.
Uniknya, banyak orang salah paham. Dikiranya kalau penulis diam, berarti lagi bete. Padahal bisa jadi di kepalanya lagi tersusun lima paragraf opini pedas tentang kapitalisme, atau tiga bait puisi galau yang bakal bikin baper satu timeline. Jadi jangan ganggu penulis yang tampak bengong. Itu bukan bengong, itu loading ide.
Kesendirian memang punya stigma jelek di zaman sekarang. Apalagi di era flexing, di mana nongkrong rame-rame dianggap simbol bahagia. Padahal, penulis tahu rahasia bahwa bahagia itu bukan soal rame atau sepi, tetapi soal makna. Dan makna paling sering datang saat sunyi.
Jadi kalau kamu penulis, jangan minder karena lebih sering nyaman sendiri. Justru di situlah letak kekuatanmu. Dari keheningan lahir ribuan tulisan yang bisa mengguncang dunia.
Dari kesendirian tercipta kata-kata yang bisa mengubah dunia, menyembuhkan, menghibur, bahkan membangkitkan semangat orang lain.
Kesendirian buat penulis itu ibarat charger. Kalau habis energi, ya tinggal colok ke sunyi. Setelah penuh, siap lagi untuk menebar ide ke semesta. Sunyi bukan musuh, tetapi sahabat penulis. Dari kesendirian itu lahir ide, dari ide lahir tulisan, dan dari tulisan lahir amal jariyah yang pahalanya nggak putus-putus.
Allah SWT menegaskan dalam QS. Yasin: 12, "sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang mati dan Kami tuliskan apa yang telah mereka kerjakan serta jejak-jejak (amal) yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas."
Ayat ini bikin hati penulis auto merinding. Bayangin aja, setiap kata yang kita tulis bisa jadi jejak yang terus hidup, meski jasad kita sudah terbaring. Kalau tulisannya ideologis, ngajak orang pada Islam kaffah, pahalanya ngalir kayak air zam-zam yang enggak pernah kering. Amal jariyah versi pena.
Maka jadi penulis itu keren bukan cuma karena bisa bikin orang ketawa atau baper, tetapi karena bisa menyalurkan ide yang menegakkan kebenaran. Tulisanmu bisa jadi saksi bahwa kamu pernah berjuang lewat kata.
Jadi Sob, jangan takut jadi penulis yang senang sendiri dan bersahabat dengan sunyi. Karena justru di situlah, Allah sedang menyiapkan ladang amal jariyah abadi. Amal yang tetap mengalir bahkan setelah jasadmu hilang dari dunia. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
0 Komentar