Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Misi Dagang Jatim–Kalsel: Pasar Siapa?


Topswara.com -- Misi dagang dan investasi antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan kembali mencatat angka fantastis. Nilainya menembus Rp1,5 triliun, meliputi transaksi berbagai komoditas. 

Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menyebut transaksi terbesar datang dari jual beli Harang Halaban, sedangkan Kalsel mencatat pembelian kopi asal Jatim senilai Rp106 miliar, disusul pakan ikan dan ternak (rri.co.id, 17/9/2025).

Khofifah menyatakan, capaian ini menunjukkan pentingnya kerja sama ekonomi antardaerah. Sekdaprov Kalsel berharap, pelaku usaha memanfaatkan momentum ini untuk memperluas jejaring bisnis. 

Sekilas, misi dagang ini tampak membanggakan, karena mempertemukan dua provinsi dengan potensi besar. Namun patut menjadi pertanyaan: misi dagang ini sesungguhnya pasar siapa? Apakah benar untuk kesejahteraan rakyat banyak, ataukah hanya memperbesar keuntungan kelompok tertentu?

Kapitalisme: Pasar Jadi Rebutan

Dalam sistem kapitalisme, perdagangan diposisikan sebagai ajang kompetisi. Pasar dianggap mekanisme bebas, di mana siapa yang memiliki modal dan jaringan kuat akan menguasai aliran barang. 

Akibatnya, rakyat kecil hanya menjadi penonton sekaligus korban. Petani bisa merugi saat harga ditekan distributor besar, sedangkan konsumen tetap menjerit saat harga melambung.

Ekonom Ha-Joon Chang menegaskan, “pasar bebas itu mitos; selalu ada pihak yang mengendalikannya.” Kritik senada datang dari Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, yang menyatakan pasar kapitalis gagal menciptakan distribusi adil karena hanya memperkaya segelintir elit. 

Bahkan Karl Polanyi, pemikir besar ekonomi-politik, menyebut pasar kapitalis sebagai institusi buatan yang dipaksakan, yang pada akhirnya mengorbankan masyarakat demi kepentingan modal.

Dengan demikian, capaian Rp1,5 triliun dalam bingkai kapitalisme bukan jaminan kesejahteraan rakyat. Ia hanya menandai keberhasilan memperbesar pasar bagi segelintir pelaku usaha besar, bukan distribusi hasil dagang yang adil bagi masyarakat luas.

Islam: Negara Punya Peran Sentral

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memandang perdagangan sebagai aktivitas vital yang harus tunduk pada syariat. 

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizham al-Iqtishadi fil Islam menjelaskan bahwa perdagangan dalam negeri adalah bagian dari politik ekonomi Islam, yang orientasinya memastikan distribusi kekayaan secara adil. Pertumbuhan hanyalah konsekuensi, bukan tujuan.

Ada empat prinsip utama perdagangan dalam negeri menurut Islam:

Pertama, hanya barang halal yang boleh diperdagangkan. Segala transaksi yang melibatkan riba, gharar, dan penipuan dilarang. Ini menjaga pasar tetap bersih dari praktik batil.

Kedua, negara berperan sentral dalam mengatur pasar. Rasulullah SAW mendirikan pasar Madinah bebas monopoli Yahudi, Khalifah Umar ra. turun langsung mengawasi pedagang, bahkan dalam sejarah Islam lahir lembaga hisbah dengan qadhi hisbah sebagai pengawas pasar. 

Fungsinya: mencegah penimbunan, menindak kecurangan timbangan, dan memastikan barang kebutuhan rakyat tidak dikuasai segelintir pihak.

Ketiga, orientasi perdagangan Islam adalah distribusi, bukan akumulasi modal. Kapitalisme berharap efek menetes ke bawah (trickle down effect), padahal faktanya tidak pernah nyata. 

Islam justru menyalurkan distribusi langsung. Saat Madinah dilanda paceklik, Khalifah Umar ra. mengirim bantuan pangan dari Mesir dalam jumlah besar.

Keempat, kepemilikan diatur syariat: kepemilikan individu, umum, dan negara. Barang-barang umum seperti tambang besar, energi, dan hutan tidak boleh dikuasai swasta, apalagi asing. Negara wajib mengelolanya demi kemaslahatan rakyat.

Pasar untuk Rakyat, Bukan Elite

Dengan prinsip tersebut, jelaslah bahwa perdagangan dalam Islam bukan sekadar soal angka transaksi. Ia adalah instrumen distribusi yang menjamin tiap individu rakyat mendapatkan haknya. 

Syaikh Abdul Qadim Zallum menegaskan, perdagangan dalam negeri dalam Islam tidak diarahkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semata, melainkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat secara adil.

Misi dagang Jatim–Kalsel yang digembar-gemborkan sebagai capaian Rp1,5 triliun sesungguhnya tidak otomatis membawa kesejahteraan. Pertanyaan “pasar siapa?” patut diajukan. Selama ia berada dalam bingkai kapitalisme, pasar hanyalah arena perebutan modal. Rakyat tetap menunggu di pinggir, menanti tetesan yang tak kunjung datang.

Karena itu sejatinya yang kita butuhkan bukan sekedar perayaan transaksi triliunan rupiah, melainkan sistem yang menjadikan perdagangan sebagai instrumen distribusi adil--demi terwujudnya kesejahteraan hakiki seluruh rakyat. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar