Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menulis: Healing Ilmu, Mengasah Iman, Meraih Pahala


Topswara.com -- Ada orang yang kalau capek, larinya ke jalan-jalan. Ada yang kalau stres, larinya ke belanja online. Tetapi ada satu “tempat pelarian” yang nggak kalah ampuh, yaitu menulis.

Bagi penulis dakwah ideologis, menulis bukan cuma soal menuangkan kata-kata. Menulis itu ibarat “healing” yang tidak hanya menenangkan jiwa, tetapi juga menguatkan iman. Pena menjadi sahabat, kertas (atau layar laptop) jadi saksi, dan setiap huruf yang ditulis menjadi jalan pahala.

Menulis Bikin Waktu Cepat Berlalu

Coba perhatiin, Sob. Kalau lagi bengong, satu jam rasanya lama banget. Tapi kalau lagi asyik menulis, nggak terasa tahu-tahu sudah tiga jam lewat. Menulis bikin waktu berjalan tanpa terasa karena hati kita larut dalam prosesnya. 

Inilah bentuk flow, kondisi psikologis di mana kita tenggelam dalam aktivitas penuh makna. Dan bukankah waktu yang dihabiskan untuk kebaikan akan menjadi catatan amal yang manis di akhirat?

Menulis: Healing Ilmu dan Jiwa

Ada luka batin yang enggak bisa sembuh hanya dengan tidur. Ada beban hati yang nggak bisa reda hanya dengan curhat. Tetapi begitu dituangkan lewat tulisan, tiba-tiba terasa plong. Menulis adalah terapi. Setiap kalimat yang lahir bukan sekadar kata, tetapi juga cara hati untuk berdamai dengan dirinya sendiri.

Bagi penulis dakwah, healing ini bertambah nilainya. Karena yang ditulis bukan sekadar perasaan pribadi, tapi ilmu-ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an, hadis, dan pemikiran para ulama. Ilmu yang ditulis akan menetap lebih lama dalam ingatan, menjadi bekal ketika iman diuji.

Menulis: Asah Iman dan Sabar

Menulis itu melatih iman. Kok bisa? Karena setiap kali kita menuliskan dalil, tafsir, atau pendapat ulama, iman kita ikut dikokohkan. Pena itu seperti pedang, mengasah keyakinan dan menajamkan pemahaman.

Menulis juga melatih sabar. Kadang ide mampet, kadang tulisan diedit berkali-kali, kadang kritik datang tanpa henti. Tetapi justru dari situlah lahir kesabaran. Seorang penulis dakwah belajar menahan ego, menerima masukan, dan tetap istiqamah menulis meski tidak selalu disambut tepuk tangan.

Menulis Sebagai Amal Jariyah

Satu hal yang bikin hati bergetar adalah janji Rasulullah SAW, “Jika anak Adam meninggal, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang shalih” (HR. Muslim).

Tulisan yang berisi dakwah adalah ilmu yang bermanfaat. Bayangkan, Sob. Tulisanmu dibaca orang hari ini, bisa jadi ia berubah menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih kuat, lebih dekat pada Allah. Tahun depan ada orang lain yang menemukan tulisan itu dan kembali tercerahkan. Bahkan setelah penulis wafat, tulisan itu tetap berkelana, menyebarkan cahaya. Pahala mengalir tanpa henti.

Dampak Psikologis Menulis

Secara psikologis, menulis bikin hati lebih stabil. Saat orang lain panik, penulis punya “katup pengaman” lewat kata-kata. Menulis membuat pikiran lebih jernih, hati lebih ringan, dan emosi lebih terkendali. 

Dalam dunia psikologi modern, menulis disebut sebagai expressive writing yang bisa menurunkan stres, menyehatkan mental, bahkan meningkatkan daya tahan tubuh.

Bagi penulis dakwah, manfaat ini berlipat. Karena menulis bukan sekadar ekspresi, tapi ibadah. Ada rasa tenang luar biasa saat menyadari bahwa setiap huruf bisa jadi saksi amal. Inilah perpaduan unik bahwa menulis sebagai terapi, sekaligus jalan meraih surga.

Tulisan: Solusi bagi Orang Lain

Ada orang yang sedang bingung, lalu menemukan tulisan dakwah yang menjawab keresahannya. Ada yang hampir putus asa, lalu kembali semangat setelah membaca nasihat Al-Qur’an dan hadis yang ditulis seorang penulis. Inilah fungsi dakwah lewat pena, yaitu menyalakan harapan, membimbing iman.

Penulis dakwah tahu, tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan logika manusia. Kadang yang dibutuhkan adalah kembalinya hati pada Allah. Itulah kenapa setiap tulisan dakwah sejatinya adalah jembatan, agar manusia yang tersesat kembali menemukan jalan lurus.

Hikmah bagi Penulis

Menulis dakwah ideologis itu seperti dua sisi mata uang. Bagi pembaca, tulisan itu jadi ilmu dan solusi. Bagi penulis, menulis itu jadi latihan iman, sarana sabar, dan jalan pahala. Maka tidak berlebihan kalau aku katakan jika menulis adalah salah satu bentuk ibadah paling indah.

Dan hikmah terbesarnya adalah bahwa penulis itu sesungguhnya sedang menulis untuk dirinya sendiri. Saat menulis tentang sabar, ia sedang belajar sabar. Saat menulis tentang iman, ia sedang memperkokoh iman. Saat menulis tentang istiqamah, ia sedang melatih dirinya agar tidak goyah.

Kerennya Sob, menulis membuat waktu berlalu tanpa sia-sia. Menulis adalah healing jiwa dan ilmu. Menulis mengasah iman dan sabar. Menulis menjadi amal jariyah yang pahalanya tak berhenti. Dan menulis memberi solusi bagi banyak orang yang sedang mencari arah.

Maka, bagi penulis dakwah ideologis, pena bukan sekadar alat, tetapi senjata. Setiap kata adalah cahaya, setiap kalimat adalah doa, setiap tulisan adalah warisan. Dunia mungkin melupakan, tetapi catatan amal Allah tidak akan pernah melupakan. []


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar