Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Taman Nasional Meratus: Konservasi atau Perampasan Ruang Hidup?


Topswara.com -- Aliansi Masyarakat Adat Meratus menolak rencana pembentukan Taman Nasional di Pegunungan Meratus. Mereka khawatir ruang hidupnya terampas, sebab lebih dari 52,84 persen wilayah usulan taman nasional sekitar 119.779 hektare berada di tanah adat Dayak Meratus (Mongabay, 25/8/2025). 

Usulan itu diperkirakan menyentuh 23 desa di lima kabupaten (Balangan, Kotabaru, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Banjar), berdampak pada 20.328 jiwa dari 6.032 keluarga (lingkarinews, 27/8/2025). 

Masyarakat adat sudah berkali-kali menyuarakan penolakan melalui forum publik, diskusi, hingga audiensi ke DPRD Kalsel. Namun lagi-lagi, suara mereka hanya ditampung dalam notulen dengan janji “akan dipertimbangkan” (RRI, 16/9/2025). 

Padahal di lapangan, kerusakan terus berlangsung: data Global Forest Watch menunjukkan kehilangan tutupan pohon di area usulan taman nasional mencapai 1,9 persen dalam periode 2002–2024 (lingkarinews, 27/8/2025). Sementara secara provinsi, deforestasi Kalsel pada 2023–2024 mencapai 146.956,89 hektare.

Aspirasi Hanya Jadi Arsip

Beginilah wajah sistem sekuler: rakyat boleh bersuara, berorasi, mengirim surat, bahkan berunjuk rasa. Namun pada akhirnya, suara mereka hanya menjadi tumpukan catatan rapat. 

Setiap kali ada audiensi, DPRD mencatat dalam notulen, lalu meneruskan ke gubernur, gubernur menyatakan akan mengkaji, kementerian menjanjikan tim terpadu. 

Lalu apa hasilnya? Hanya lingkaran birokrasi tanpa solusi. Aspirasi rakyat diredam dengan mekanisme administrasi, bukan diwujudkan dengan kebijakan nyata.

Konsep konservasi dalam bingkai sekuler pun kerap semu. Taman nasional dipoles dengan jargon “ekowisata” atau “ekonomi hijau”. Tetapi realitanya, proyek ini membuka peluang baru bagi investor. 

Masyarakat adat justru dibatasi aksesnya: tidak bisa lagi berburu, berladang, atau mengambil rotan di tanah leluhur. Pelabelan “taman nasional” akhirnya jadi pintu masuk green capitalism.

Label “konservasi” kini sering dikaitkan dengan istilah yang cantik: green capitalism. Green capitalism adalah pendekatan ekonomi yang mencoba menjembatani pertumbuhan kapitalis dengan keberlanjutan lingkungan yakni mengintegrasikan praktik ramah lingkungan, efisiensi energi, pengurangan limbah, teknologi bersih (clean tech), dan mekanisme pasar lingkungan ke dalam sistem kapitalis agar terlihat “hijau” sambil tetap mengejar keuntungan.

Namun sesungguhnya, konservasi dipakai sebagai alasan untuk mengamankan investasi, bukan melindungi manusia dan alam.

Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam sistem sekuler, rakyat hanya dilihat sebagai objek. Jika aspirasi cocok dengan arah kebijakan, maka diakomodasi. Tetapi jika bertentangan, ia dipinggirkan. Karena itu, konflik antara negara dan masyarakat adat diposisikan sebagai persoalan teknis belaka: sekadar benturan kepentingan, bukan masalah keadilan. 

Padahal sesungguhnya, ini menyangkut hak dasar manusia atas ruang hidup.
Tak heran, meskipun masyarakat adat sudah menjaga hutan selama ratusan tahun, negara justru mencurigai mereka sebagai ancaman konservasi. 

Ironis sekali, ketika tambang dan sawit membuka lahan ribuan hektare, negara menganggap itu “pembangunan”; tetapi saat masyarakat adat berladang di tanah leluhur, negara menyebutnya “gangguan konservasi”. Di sinilah nyata bahwa sistem sekuler lebih mempercayai pemodal ketimbang rakyatnya sendiri.

Islam: Paradigma yang Berbeda

Islam memiliki paradigma berbeda. Hutan, air, dan tanah adalah kepemilikan umum. Rasulullah ï·º bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud). 

Artinya, alam tidak boleh diserahkan kepada swasta atau segelintir elit. Negara wajib mengelola untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Sejarah mencatat bagaimana para khalifah begitu perhatian terhadap ruang hidup rakyat.

Umar bin Khaththab melarang pejabat membeli tanah rakyat agar tidak terjadi penumpukan kepemilikan. Utsman bin Affan memperluas sumur agar masyarakat tetap punya akses air bersih. Umar bin Abdul Aziz menutup lahan-lahan yang dirampas secara zalim dan mengembalikannya kepada rakyat.

Semua ini menunjukkan bahwa dalam Islam, negara tidak membiarkan masyarakat kehilangan ruang hidupnya. Negara Islam juga tidak akan menunggu hutan rusak dulu baru memberi label “taman nasional”. 

Sejak awal, ia menutup pintu perusakan, menjaga hak rakyat, dan memastikan hasil pengelolaan kembali kepada umat.

Meratus adalah cermin bagaimana kapitalisme memperlakukan hutan: dijadikan angka dalam laporan, dijual lewat skema konservasi, dan ditukar dengan keuntungan investor. Rakyat hanya dapat janji dan rapat kosong.

Perubahan hakiki akan terwujud jika paradigma sekuler ditinggalkan. Islam memberi jalan keluar: hutan sebagai milik umum, dikelola negara untuk rakyat, dijaga demi keseimbangan alam, dan dilindungi dari kerakusan pemodal. 

Inilah solusi yang adil dan berkelanjutan. Tanpa perubahan sistemis, Meratus hanya akan terus dijual, sementara rakyat ditinggalkan bersama debu bekas tambang.

Saatnya menata ulang arah perjuangan. Meninggalkan sistem sekuler yang zalim, dan kembali kepada syariah Islam kaffah sistem yang menempatkan manusia, alam, dan aturan Allah di posisi semestinya. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar