Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Loneliness in the Crowd, Ramai Dunia Maya, Sepi Dunia Nyata


Topswara.com -- Merasa kesepian dalam keramaian? Mungkin pernyataan paradoks ini hanya berlaku bagi individu yang sedang dirundung duka ataupun kegelisahan. Namun, bagaimana jika perasaan ini menjadi sebuah fenomena yang menghantam generasi? 

Tentu hal ini akan menjadi masalah yang serius untuk dihadapi. Dilansir dari detik edu, Loneliness in the Crowd merupakan riset yang diusung oleh tim mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang mendapat pendanaan untuk penelitian lebih lanjut dari Kemendiktisaintek. 

Konsentrasi penelitianya berkaitan dengan fenomena para pengguna Tiktok yang banyak memuat konten narasi kesepian dengan berbagai emosi mulai dari hubungan, kesendirian, dan keterasingan dihubungkan dengan teori hiperrealitas sebagai representasi digital yang dianggap lebih 'nyata' daripada realitas itu sendiri, sehingga media sosial tersebut membentuk emosi yang mempengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang (detik.com, 18/09/2025).

Tidak bisa dipungkiri, saat ini, media sosial menjadi sandaran untuk berhubungan sosial, merasa terkoneksi satu sama lain melalui konten maupun postingan yang menyentuh emosi pengguna. 

Algoritma yang menemani pengguna pun akan disesuaikan dengan konten apa yang sering dikonsumsinya. Jika konten yang sering dibuka berkaitan dengan kesendirian, rasa keterasingan, kegelisahan, dan yang sejenisnya, maka jenis konten seperti itu yang terus mengitari pengguna. Hal ini jelas akan mempengaruhi kesehatan mental penggunanya. 

Fenomena Loneliness in the Crowd yang diriset oleh mahasiswa UMY ini menjadi gambaran perasaan massal yang dirasakan oleh masyarakat saat ini, khususnya Gen Z yang lekat dengan media sosial.

Berselancar di dunia maya memang tidak ada salahnya, namun jika porsinya berlebih, hingga menyita dunia nyata, pasti akan menimbulkan efek samping. Efek yang paling terlihat adalah sikap asosial ketika berinteraksi di dunia nyata, tetapi sangat terbuka di dunia maya dengan menjamurnya postingan maupun konten yang bahkan sifatnya personal. 

Sikap asosial melambangkan rasa tidak nyaman berinteraksi dalam dunia nyata dan memilih menarik diri dari lingkungan sekitar. Rasa sepi ditengah keraiaman inilah buah dari tarikan menarik diri dari dunia nyata. 

Kehadiran manusia, bahkan orang yang kita sayangi sekalipun menjadi kerdil ketika pikiran dan perasaan kita didominasi oleh konsumsi informasi dan interaksi dunia maya yang membuat candu. 

Kita terbiasa melihat anggota keluarga asyik dengan gadgetnya sekalipun mereka sedang berkumpul diruang keluarga. Tidak ada obrolan hangat atau canda tawa, yang ada hanya gawai yang setia menemani mereka bahkan di atas meja makan sekalipun. 

Bagaimana jika candu ini memiliki efek domino yang tidak hanya menimpa satu keluarga saja, tetapi jutaan keluarga yang sama-sama tersita perhatian dan waktunya di dunia maya? Tidak bisa dibayangkan nasib generasi dan peradaban kelak jika masih berkutat dengan efek ini. Hal ini bukan hanya masalah manajemen penggunaan gawai atau kurangnya edukasi digital. 

Namun, sistem kapitalisme menempatkan ekonomi sebagai tujuan utama kehidupan. Di satu sisi, media sosial menjadi salah satu corong terbaik untuk meraup keuntungan tanpa batas dengan menjamin bagi para penggunanya sarana hiburan, ruang mengekspresikan diri, dan berinteraksi sosial dengan jangkauan yang sangat bebas. 

Namun, di sisi lain media sosial menjadi liar dan tidak terkendali yang ternyata mempengaruhi kesehatan mental manusia untuk menghadapi dunia nyata. Posisi pemerintah yang hanya berfungsi sebagai regulator, minim terhadap penjagaan mental masyarakatnya. Pada akhirnya, masalah mental mencuat setelah berbagai fenomena sosial terjadi di tengah kehidupan masyarakat.

Perasaan kesepian ditengah realitas keramaian dan sikap asosial yang dialami masyarakat saat ini merupakan masalah sistemik yang merugikan bangsa. Generasi muda yang memiliki potensi besar untuk berkembang dan produktif, potensinya dirampas oleh gelombang kegelisahan massal melalui candu media sosial yang terlihat lebih hidup dibandingkan hidup itu sendiri. 

Akhirnya jangankan untuk memikirkan kondisi umat dan persoalan bangsa, untuk keluar dari jeratan perasaan dan sikap asosial saja butuh usaha ekstra.

Masalah sistemis ini membutuhkan sinergi dari berbagai pihak, karena tidak bisa bertumpu pada individu untuk menyelesaikannya. Dari sisi individu diperlukan kekuatan akidah sebagai benteng pertama untuk memilah batasan benar dan salah.

Benteng akidah ini harus membentuk sistem yang hidup ditengah kehidupan masyarakat, agar lepas dari jeratan sistem kapitalisme dengan asas sekulernya. 

Negara pun dengan kuasanya yang mengikat masyarakat melalui aturan dan kebijakan seharusnya menjadi pelindung yang menjamin masyarakatnya sehat secara fisik dan mental, mengendalikan teknologi dunia digital untuk mendorong generasi produktif dan kontributif yang membentuk peradaban yang gemilang.


Oleh: Sheila Nurazizah 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar