Topswara.com -- Musibah banjir bandang yang kembali menimpa Bali bukanlah sekadar fenomena alam biasa. Fakta menunjukkan bahwa 123 titik terdampak di enam kabupaten/kota, 18 orang meninggal dunia, dan ratusan orang terpaksa mengungsi (Metrotvnews.com, 12-9-2025).
Penyebabnya antara lain tukad Badung yang menyempit akibat padatnya bangunan, hutan di hulu Gunung Batur yang hanya tersisa 1.200 hektar dari total 49.000 hektar, serta pembangunan akomodasi wisata yang melonjak dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir (detik.com, 18-9-2025).
Selain itu, menurut menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo menyampaikan sedimentasi Waduk Muara Nusa Dua sangat tinggi mengakibatkan ketinggian air sungai meningkat, lalu diperparah dengan penumpukan sampah dalam jumlah besar (voi.id, 26-9-2025). Dengan kata lain, bencana ini sebenarnya bukanlah kebetulan, melainkan konsekuensi logis dari pola hidup yang salah.
Kementerian PU tengah mendorong percepatan normalisasi Waduk Muara Nusa Dua di Sungai Badung, Bali, sebagai langkah mitigasi untuk mencegah banjir terulang kembali (voi.id, 26-9-2025).
Kapitalisme, Akar Masalah Ekologis
Jika ditelusuri, banjir bandang Bali tidak bisa hanya dilihat sebagai kelalaian teknis, melainkan buah pahit dari sistem kapitalisme yang dijadikan dasar pembangunan negeri ini. Kapitalisme telah mengubah alam menjadi komoditas.
Hutan, sawah, subak, hingga sungai tidak lagi dipandang sebagai amanah Allah yang harus dijaga, tetapi sebagai aset yang bisa ditukar dengan devisa.
Alih fungsi lahan menjadi hotel dan vila dianggap sah demi menarik wisatawan, padahal dampaknya merusak keseimbangan ekologi (Beritasatu.com, 13-9-2025). Dalam sistem ini, negara pun tunduk pada kepentingan investor, bukan rakyat. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang seharusnya menjadi benteng perlindungan tata ruang hanya berfungsi sebagai formalitas.
Akibatnya, kesejahteraan rakyat justru dikorbankan demi turisme. Ironisnya, rakyat kecil menjadi korban banjir dan kehilangan rumah, sementara keuntungan pariwisata hanya mengalir ke pemilik modal besar.
Kapitalisme membuat pembangunan bias: orientasi utamanya bukan untuk rakyat, tetapi untuk investor. Lebih jauh, sistem ini menempatkan manusia seolah penguasa mutlak atas alam, bebas mengeksploitasi apa saja tanpa batas.
Padahal, Islam mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah, pengelola bumi yang wajib tunduk pada aturan Allah. Maka jelas, pola pembangunan kapitalistik bertentangan dengan prinsip dasar ini.
Islam: Alam adalah Amanah, Bukan Komoditas
Islam memandang alam sebagai milik Allah yang dititipkan kepada manusia. Air, hutan, tanah, laut adalah milik umum yang tidak boleh diprivatisasi untuk keuntungan segelintir orang.
Rasulullah ﷺ menegaskan hal ini dalam sabdanya: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud).
Hadis ini mempertegas bahwa sumber daya alam adalah hak bersama, bukan barang dagangan yang bisa diperjualbelikan. Dengan demikian, kerusakan yang terjadi akibat menjadikan pariwisata sebagai sumber utama pemasukan negara jelas keluar dari koridor Islam.
Negara seharusnya mengambil pemasukan dari mekanisme syariah seperti kharaj, fai’, jizyah, ghanimah, serta pengelolaan kepemilikan umum, bukan dari liberalisasi alam dan ketergantungan pada turisme.
Negara Wajib Menjaga Tata Ruang
Dalam perspektif Islam, negara memiliki kewajiban menjaga tata ruang dan melindungi rakyat dari bencana. Khalifah atau pemimpin dalam Islam wajib memastikan tidak ada alih fungsi lahan yang merusak keseimbangan.
Lahan produktif dan hutan harus dilindungi, bukan diperjualbelikan. Kepemilikan umum tidak boleh jatuh ke tangan swasta atau asing, melainkan harus dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat.
Orientasi pembangunan bukanlah devisa atau keuntungan ekonomi sesaat, melainkan kemaslahatan umat. Islam juga menanamkan akhlak ekologis sebagai dasar hidup. Manusia diajarkan untuk menjaga keseimbangan (mīzān), sebab merusak alam sama saja dengan melanggar perintah Allah.
Banjir bandang Bali adalah bukti nyata bahwa pembangunan ala kapitalisme hanya melahirkan krisis berulang. Selama orientasi pembangunan ditentukan oleh keuntungan jangka pendek, tragedi akan terus datang silih berganti. Islam menawarkan paradigma yang berbeda: alam adalah amanah Allah, bukan komoditas.
Negara wajib mengelola sumber daya alam untuk rakyat, bukan investor. Pembangunan dijalankan dengan tata ruang syariah yang menjaga keseimbangan ekologi. Dengan Islam, manusia benar-benar berlaku sebagai khalifah di bumi (mengelola), bukan merusak.
Karena itu, sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam yang kaffah. Hanya dengan aturan Allah yang menyeluruh, keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta dapat terjaga. Bila kita terus bertahan pada paradigma kapitalisme yang rakus, bencana demi bencana akan terus datang, dan setiap kali, rakyat kecil akan kembali menjadi korban.
Oleh: Wulandari, SP., S.Pd.
Pendidik
0 Komentar