Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Rindu yang Tak Bernama


Topswara.com -- Pernahkah Anda merasa seperti sedang mencari sesuatu? Bukan kunci mobil, bukan dompet yang hilang, tetapi sesuatu yang jauh lebih dalam. Sebuah perasaan yang sulit untuk diungkapkan, seperti ada ruang kosong di dalam diri yang butuh untuk diisi. Kita mungkin sering menyebutnya dengan istilah: galau, resah, atau gelisah.

Perasaan ini bahkan bisa tetap muncul saat kita sukses, saat kita sudah punya segalanya. Rumah, mobil, pasangan ideal, pekerjaan impian. Tetapi, kenapa rasanya seperti masih ada yang kurang? Kenapa hati kita masih terasa hampa?

Saya ingin mengajak Anda untuk melihat rasa hampa ini dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Rasa hampa yang Anda rasakan ini, sesungguhnya bukanlah semacam penyakit. Keresahan ini adalah ingatan primordial manusia atas eksistensinya.

Dalam Surah Al-A'raf ayat 172, Allah SWT berfirman yang artinya:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab, 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.' (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami lengah terhadap ini,'".

Mari kita bedah ayat ini dari sudut pandang ilmu jiwa.
1. Fitrah Penciptaan Manusia

Ayat ini berbicara tentang arsitektur dasar jiwa kita. Setiap manusia, apa pun agamanya, sukunya, atau budayanya, lahir dengan sebuah 'program' bawaan, yaitu keyakinan akan adanya Tuhan. Apa buktinya?

Lihatlah sejarah peradaban. Semua peradaban kuno dari Mesopotamia, Mesir, Inca, bahkan Jawa, punya konsep ketuhanan. Mereka mungkin menyembah patung, dewa-dewi, atau kekuatan alam. Tetapi, esensinya sama yaitu ada sesuatu yang lebih besar dari diri mereka yang harus mereka puja.

Perasaan hampa, resah, atau gelisah itu adalah alarm di dalam jiwa manusia. Alarm yang berbunyi ketika kita menjauh dari fitrah penciptaan kita, yaitu naluri untuk tunduk dan menyembah sesuatu yang paling hebat dan layak untuk kita sembah.

2. Manusia Tempatnya Lupa

Kita mungkin mengalami amnesia setelah lahir ke dunia. Kita lupa momen indah saat kita bersaksi di hadapan-Nya, bahwa kita adalah hamba. Tapi, meskipun tubuh dan akal kita lupa, jiwa kita tetap mengingatnya.

Kenapa kita merasa tenang saat mendengarkan azan? Kenapa kita merasa damai saat melihat bangunan Ka'bah? Kenapa kita merasa bahagia ketika pekikan takbir membahana? Itu bukanlah suatu kebetulan. Itu adalah body memory kita. Tubuh kita bereaksi terhadap sesuatu yang pernah kita kenal secara spiritual di dalam jiwa.

Jadi, rasa hampa, resah, dan gelisah itu sebenarnya adalah rasa rindu di dalam jiwa. Rindu yang tak bernama. Rindu pada momen saat kita mengatakan: "Benar, Engkau adalah Tuhan kami."

3. Menerjemahkan Rindu Menjadi Aksi Nyata

Rasa rindu ini tidak bisa diobati dengan materi. Tidak dengan uang, tidak dengan like di media sosial, atau pujian dari orang lain. Rindu ini hanya bisa diobati dengan kembali pada sumber rindu itu sendiri.

Bagaimana caranya? Satu-satunya cara mengobati rindu itu hanyalah dengan mengingat dan menunaikan janji. Zikir, bukan sekadar mengucapkan kata-kata kosong tanpa makna. Zikir, adalah mengaktifkan kembali ingatan kita tentang janji yang telah kita ikat di alam ruh.

Dengan berdialog dan bercengkrama. Shalat, bukan sekadar gerakan biasa. Shalat, adalah membuat koneksi dengan pihak yang kita ajak bicara saat itu. Ini adalah ibadah langsung yang membuat jiwa kita terkoneksi pada Zat yang telah menciptakan dan memelihara diri kita.

Menuntut ilmu bukan sekadar menambah wawasan. Menuntut ilmu adalah mencari peta untuk kembali kepada-Nya. Dengan ilmu, kita bisa menavigasi kehidupan dengan jalan yang ditunjukkan Tuhan.

Penutup

Jadi, mulai sekarang, ubah cara pandang kita terhadap rasa hampa di dalam jiwa. Jangan anggap itu sebagai masalah. Anggap itu sebagai penunjuk arah. Kompas moral yang menuntun manusia kembali ke rumahnya yang sejati.

Jarum kompas itu bergerak setiap kali jiwa kita merasa gelisah, setiap kali hati kita merasa sepi, setiap kali akal kita bertanya, "Untuk apa ini semua?". Ingatkah ketika ruh kita menjawab pertanyaan: "Alastu bi Robbikum?" di alam sebelum dunia.

Jangan biarkan rindu yang tak bernama itu sia-sia. Terjemahkan rindu itu menjadi aksi nyata. Mulai hari ini, mari kita hidupkan kembali janji itu di dalam jiwa. Agar kita tidak menghianati jawaban kita dulu: "Balaa, Syahidna!", "Benar, kami bersaksi!" Wallahu a'lam bish shawab.


Trisyuono D. 
(Aktivis Muslim)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar