Topswara.com -- Apabila kita perhatikan, berita tentang kondisi politik di Timur Tengah seperti sinetron yang tak ada habisnya. Sulit dimengerti, tetapi selalu ada "season" baru, dengan drama-drama baru yang terjadi di dalamnya.
Panggung geopolitik disana diperankan oleh pemain-pemain andalan dengan peran uniknya masing-masing, namun dengan sutradara yang masih sama.
Bayangkan sebuah skenarionya yang diperankan oleh Amerika Serikat sebagai "Suami" yang super kaya dan berkuasa. Ia punya "Istri Kesayangan" bernama Israel. Hubungan mereka sangat mesra, bahkan kadang terlalu mesra.
Sejak 1948, Israel sudah dimanjakan dengan bantuan militer senilai lebih dari $158 miliar dollar. Angka ini bukan kaleng-kaleng. Cukup untuk membeli semua sistem pertahanan tercanggih dan memastikan si "Istri" selalu merasa aman, bahkan saat ia mencoba menggoda tetangganya.
Di sisi lain, si "Suami" juga punya "Simpanan" bernama Iran. Hubungan mereka lebih sering tarik ulur daripada mesra. Hubungan mereka sejak tahun 1979 ada yang dipublikasikan, yaitu sebagai rival bisnis dan ada juga yang gelap-gelapan yaitu sebagai simpanan.
Jadi, jangan salah sangka. Amerika tidak "memelihara" Iran seperti layaknya istri atau rekan bisnis sejati. Mereka lebih seperti tetangga yang punya sejarah panjang dan sering saling melotot sambil membawa ancaman sebagai konsumsi publik dan ghibahan politik media.
Ketika "Istri" Bertengkar dengan "Simpanan"
Karena sering rewel ingin menguasai seluruh Timur Tengah, semenjak Netanyahu menjadi Perdana Menteri, Israel sering membuat Amerika kesal. Pasalnya ia tidak mau diatur dan selalu mengajak sang "Suami" untuk melegitimasi kerusuhan dan akhirnya terpaksa menceburkan diri ke kancah pertempuran sang "Istri".
Baru-baru ini, si "Istri Sah" (Israel) yang memang sudah lama gatal dan cemburu dengan si "Simpanan" (Iran) karena ambisi nuklirnya, merajuk ke "Suami" nya. Ia melancarkan serangan "nakal" ke Iran yang menewaskan beberapa orang Jenderal dan ilmuwan penting dari pihak Iran.
Tentu saja si "Simpanan" tidak tinggal diam. Ia juga meminta ijin kepada Amerika untuk membalas Israel. Amerika mempersilahkan, namun dengan syarat : tidak boleh terlalu keras, apalagi sampai terluka parah. Hasilnya? Sebagian serangan meleset berkat bantuan backingan si "Suami" dan beberapa teman dekatnya (Inggris, Prancis, Yordania) yang memang sudah dikondisikan.
Namun, sang "istri" terus saja merengek kepada sang "suami" agar turun tangan membelanya. Akhirnya diturutilah permintaan istri dengan menyerang tiga fasilitas nuklir Iran di Frodo, Nathan dan Isfahan untuk menyenangkan hati istrinya.
Serangan spektakuler itu sebenarnya juga telah dikondisikan sehingga daya rusaknya tidak terlalu signifikan. Uranium yang sudah diperkaya itu telah terlebih dahulu diamankan sebelum terjadinya serangan.
Agar drama makin seru, Iran kemudian menyerang pangkalan Amerika yang ada di Qatar. Itupun sudah dikondisikan sehingga tidak membawa banyak kerusakan. Lucunya, setelah adu jotos kecil ini, Qatar justru muncul sebagai "Juru Damai Profesional" untuk mengurai situasi runyam keluarga Amerika.
Klimaksnya adalah gencatan senjata yang digagas bukan antara Israel dan Iran, karena mereka mana mungkin mau saling berbicara. Gencatan senjata ini adalah antara Amerika, Qatar, dan Iran.
Begitulah drama yang dipertontonkan kepada publik. Sementara itu negeri-negeri Muslim lain di kawasan Timur Tengah dan seluruh dunia ikut menonton dan terhanyut dengan ceritanya.
Pelajaran Yang Bisa Kita Didapatkan
Jadi, apa pelajaran dari semua sinetron ini? Amerika, si "Suami", memang punya kepentingan besar di Timur Tengah. Ia harus menjaga "Istrinya" agar tetap bahagia, sambil sesekali "mengelola" si "Rival Bisnis plus Simpanan" agar tidak terlalu "ugal-ugalan" dan memicu ledakan besar yang bisa merugikan semua pihak. Ini adalah tarian diplomatik yang rumit, di mana setiap langkah melewati pertimbangan yang sangat matang.
Tetapi, ada hal yang lebih krusial lagi bagi kita umat Islam. Jika kita bangga disebut sebagai "umat terbaik", maka menjadi "proxy" alias "boneka" bagi kekuatan asing itu sungguh memalukan. Kita bukan figuran, apalagi pion di papan catur orang lain! Kita seharusnya memimpin pertunjukan!
Apa Yang Harus Kita Lakukan?
Sudah saatnya kita bersatu! Cukup drama internal, mari jadi kekuatan yang berpengaruh secara global. Dulu kita pemimpin peradaban, kenapa sekarang justru tertinggal? Tolak Perpecahan! Jangan biarkan mereka memecah belah kita dengan isu sektarian yang murahan! Dikotomi Syiah - Sunny adalah permainan. Mari kita bersatu hanya karena Islam.
Singkatnya, kita punya potensi menjadi sutradara, bukan hanya aktor figuran dalam drama politik global. Saatnya tampil di panggung utama, bukan lagi jadi pengikut atau "proxy" bagi negara-negara besar.
Satu-satunya jalan menuju kesana adalah dengan mengembalikan kehidupan Islam, dengan menerapkan Syariat secara formal dalam sebuah institusi legal, yaitu Kekhilafahan Islam. Institusi ini tidak akan tegak bila kita tidak menyamakan persepsi, sikap dan gerakan dalam sebuah gerakan dakwah penyadaran.
Apakah anda siap menjadi bagian dari perubahan global ini? Atau hanya puas menjadi penonton pertunjukan?
Wallahu A'lam bish Shawwab.
Trisyuono D.
(Aktivis Muslim)
0 Komentar