Topswara.com -- Kasus perundungan anak kembali mencuat ke permukaan, memicu keprihatinan publik. Baru-baru ini, terjadi perundungan brutal yang dilakukan oleh sejumlah pelajar tingkat SMP terhadap teman sekelasnya sendiri.
Tak hanya sebatas ejekan verbal, aksi mereka sudah menjurus kepada tindak kriminal: pemukulan, pemaksaan minum tuak, bahkan ancaman kekerasan.
Mirisnya, semua itu dilakukan oleh anak-anak usia sekolah yang seharusnya belajar tentang kasih sayang, bukan kebencian. KBRN, Juni 2025
Tragedi ini bukanlah kasus tunggal. Justru menjadi bukti nyata bahwa perundungan anak merupakan fenomena gunung es. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) setiap tahun menunjukkan grafik peningkatan kasus kekerasan terhadap anak, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun digital.
Perundungan tak hanya menyisakan luka fisik, tetapi juga trauma mental berkepanjangan yang bisa menghancurkan masa depan korban.
Sayangnya, respons negara masih belum memadai. Banyak pihak menggantungkan harapan pada regulasi dan sanksi, namun faktanya hal itu tak menyentuh akar masalah. Kerap kali, pelaku hanya mendapatkan sanksi sosial atau pembinaan ringan.
Hal ini menunjukkan dua kegagalan sekaligus: lemahnya sistem perlindungan hukum terhadap anak dan runtuhnya sistem pendidikan karakter yang seharusnya mencetak manusia berakhlak mulia.
Lebih dalam, kita harus jujur mengakui bahwa semua ini adalah buah pahit dari sistem kehidupan sekuler kapitalistik yang diterapkan secara menyeluruh hari ini. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan telah menciptakan generasi yang kehilangan arah.
Anak-anak dibiarkan tumbuh dalam lingkungan yang permisif terhadap kekerasan, minim kontrol sosial, dan miskin keteladanan. Hiburan dipenuhi kekerasan, pendidikan hanya mengejar capaian akademik, sementara keluarga tercerabut dari nilai spiritual.
Penggunaan tuak dalam kasus perundungan baru-baru ini menunjukkan betapa jauhnya remaja kita dari ajaran agama. Minuman keras yang jelas haram, menjadi bagian dari tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak-anak yang bahkan belum genap usia dewasa menurut hukum.
Ini bukan sekadar pelanggaran moral, tetapi tanda alarm yang seharusnya mengguncang kesadaran semua pihak: ada yang salah dalam sistem kehidupan kita.
Islam memandang perundungan dalam bentuk apa pun sebagai perbuatan haram. Baik dalam bentuk cemoohan verbal, pemaksaan, penganiayaan fisik, terlebih lagi jika disertai penggunaan barang haram seperti khamr. Dalam Islam, setiap manusia—setelah mencapai usia baligh—dipandang bertanggung jawab penuh atas semua amal perbuatannya. Rasulullah ï·º bersabda:
“Pena (catatan amal) diangkat dari tiga golongan: dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia baligh, dan dari orang gila hingga ia sembuh.”
(HR. Abu Dawud)
Hadis ini menegaskan bahwa setelah baligh, seseorang sudah wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, termasuk dalam konteks hukum syariat.
Islam juga menjadikan sistem pendidikan sebagai pilar utama pembentukan kepribadian anak. Pendidikan yang berasaskan akidah Islam berperan memberikan bekal kepada anak-anak agar siap menjadi mukallaf ketika mencapai usia baligh.
Pendidikan ini bukan hanya tanggung jawab keluarga atau sekolah, tetapi juga masyarakat dan negara, yang memiliki peran paling besar dalam menyusun kurikulum pendidikan di seluruh level, mulai dari rumah hingga institusi formal.
Bahkan pendidikan dalam keluarga pun tidak lepas dari panduan kurikulum Islam yang dibuat oleh negara. Semua ini bertujuan untuk mewujudkan generasi yang memiliki kepribadian Islam yakni pola pikir dan pola sikap yang dibentuk oleh akidah Islam.
Selain itu, sistem informasi dan sistem sanksi dalam negara Islam saling menguatkan arah pendidikan. Informasi yang disebarkan negara bersifat mendidik, membentuk kesadaran kolektif tentang halal-haram, serta menampilkan keteladanan.
Sanksi yang tegas namun adil diterapkan bukan semata untuk menghukum, tetapi untuk mencegah dan mendidik masyarakat agar tidak mengulangi kesalahan serupa. Dengan demikian, akan lahir generasi yang tidak hanya cerdas dan berprestasi, tetapi juga bertakwa dan berkepribadian Islam.
Sudah saatnya kita berhenti mengobati luka dengan plester hukum semata. Perlu ada langkah revolusioner untuk membangun sistem perlindungan anak berbasis wahyu, bukan sekadar berdasarkan nilai-nilai buatan manusia yang terbukti lemah dan sering kali diskriminatif.
Anak-anak adalah amanah. Masa depan umat ditentukan oleh mereka. Jangan biarkan mereka tumbuh dalam sistem yang rusak, lalu menyalahkan mebali pada sistem yang benar, sistem yang berasal dari Zat Yang Maha Benar, yakni Islam.
Di sana, setiap anak diperlakukan sebagai titipan, bukan beban. Mereka dibesarkan dalam cinta, adab, dan akhlak. Demi terwujudnya generasi tangguh yang bertakwa, bukan pelaku kekerasan yang kehilangan arah.
Wallahu 'alam bishawab.
Oleh: Retno Indrawati, S.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Komentar