Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kolusi dan Korupsi: Keniscayaan dalam Demokrasi Kapitalistik Sekuler

Topswara.com -- Presiden terpilih 2024, Prabowo Subianto, dalam beberapa pernyataannya menyinggung bahaya besar yang tengah mengintai negara berkembang seperti Indonesia, yakni state capture. 

Dalam istilah sederhana, state capture adalah penguasaan negara oleh segelintir elite kolaborasi antara pemilik modal besar dan pejabat pemerintahan atau elite politik yang saling menguntungkan. Bahaya ini bukan sekadar ancaman teoritis. 

Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan, sepanjang 2023 saja, terdapat lebih dari 580 kasus korupsi yang melibatkan lebih dari 1.200 tersangka, sebagian besar berasal dari kalangan pejabat publik dan pengusaha. (kumparannews 20 Juni 2025).

Fenomena state capture ini bukan anomali dalam demokrasi, justru merupakan buah yang wajar tumbuh dari sistem demokrasi kapitalistik-sekuler yang selama ini diadopsi oleh negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia. 

Dalam sistem ini, kekuasaan tidak dipandang sebagai amanah, tetapi sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan duniawi: kekayaan, jabatan, dan kekuasaan itu sendiri. 

Maka tak heran, politik transaksional menjadi budaya yang dianggap lumrah karena para calon penguasa memerlukan dana besar untuk berkontestasi dalam pemilu, yang tak jarang bersumber dari para pemilik modal. Sebagai kompensasi, kebijakan pasca-terpilih pun akan diarahkan untuk menguntungkan si penyandang dana.

Demokrasi kapitalisme telah menjadikan negeri ini tidak sepenuhnya merdeka. Yang merdeka justru para pemilik modal yang bisa “menyetir” arah kebijakan publik. Ironis, karena rakyat yang memberikan suara, tapi kepentingan mereka justru kerap dikalahkan oleh kepentingan segelintir elite. 

Maka benar apa yang dikatakan Prabowo, state capture adalah bahaya nyata namun lebih jauh lagi, ia adalah keniscayaan dalam sistem sekuler demokrasi yang tidak meletakkan nilai agama sebagai fondasi moral dan hukum.

Lantas, apa solusi dari semua ini? Apakah cukup dengan reformasi birokrasi, penegakan hukum, atau penguatan lembaga antikorupsi? Fakta menunjukkan, KPK yang dulu digadang-gadang sebagai lembaga antirasuah pun kini tak luput dari sorotan. 

Bahkan mantan pimpinan KPK pun sempat terseret kasus etik. Ini menegaskan bahwa dalam sistem yang rusak, lembaga sekuat apapun tak akan mampu menahan laju korupsi yang telah sistemik.

Islam sebagai sistem kehidupan yang paripurna memberikan solusi fundamental. Islam tidak hanya mengatur akhlak individu, tetapi juga menata sistem pemerintahan, ekonomi, dan sosial secara komprehensif.

Dalam pandangan Islam, jabatan adalah amanah suci yang akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT, bukan alat untuk memperkaya diri. Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari & Muslim). Prinsip ini meniscayakan integritas, bukan sekadar kinerja.

Seorang pemimpin dalam Islam memiliki tugas utama untuk mengurusi urusan umat, bukan menjadikan umat sebagai komoditas.

Dalam sejarah, kita mengenal sosok seperti Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang memimpin dengan penuh keadilan dan amanah. Ia menolak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, dan membatasi harta kekayaan keluarga agar tidak menumpuk. 

Bahkan, lampu minyak negara ia padamkan jika pembicaraan sudah masuk ranah pribadi. Ini bukan sekadar romantisme sejarah, tetapi cerminan dari sistem yang membentuk individu jujur karena fondasinya adalah akidah Islam.

Islam juga menerapkan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan terhadap pelaku korupsi. Dalam syariat, pelaku penggelapan harta umat dapat dikenai hukuman takzir yang disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan, bahkan dapat sampai ke tingkat perampasan harta atau penjara. 

Mekanisme pengawasan juga bukan hanya secara struktural, tetapi juga melalui kontrol masyarakat dan kesadaran individu karena takut akan hisab di akhirat.

Karenanya, selagi demokrasi kapitalis tegak, kolusi dan korupsi akan tetap menjadi penyakit kronis bangsa. Saat dunia dijadikan tujuan, amanah pasti menjadi korban. Tetapi ketika akhirat ditempatkan di depan, kekuasaan berubah menjadi ladang ibadah. 

Kini pilihan ada di tangan umat: terus mengharap demokrasi yang terbeli atau berjuang menegakkan sistem Islam yang menebus harga diri bangsa.

Islam hadir bukan hanya sebagai agama ritual, tetapi sebagai solusi ideologis dan praktis untuk kehidupan manusia. Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah, masyarakat bisa lepas dari jeratan korupsi yang sistemik ini. 

Wallahu 'alam bishawab.


Oleh: Retno Indrawati, S.Pd 
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar