Topswara.com -- Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina. Peribahasa ini sangat menginspirasi agar tak menyerah dalam mencari ilmu pengetahuan dan terus belajar sekalipun banyak rintangan dan tantangannya.
Namun bagaimana bila semakin ke sini, belajar justru menjadi hal yang paling sulit dilakukan. Akibat semakin sulitnya peserta didik dalam mengakses pendidikan.
Dilansir dari Beritasatu.com (2/5/2025) Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan atau sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Ini setara dengan lulusan kelas 9 atau sekolah menengah pertama (SMP).
Temuan ini menjadi cerminan bahwa Pendidikan Indonesia masih didominasi oleh capaian jenjang menengah pertama, dan banyak penduduk belum melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.
Dari banyaknya persoalan yang terjadi di negeri ini, pendidikan menjadi salah satu sentral yang cukup banyak menyita perhatian. Miris melihat bagaimana kondisi pendidikan kian ke sini kian memperihatinkan.
Selain jumlah angka putus sekolah yang bertambah akibat dampak kenaikan kebutuhan hidup maupun kesenjangan ekonomi. Sulitnya akses sekolah di wilayah-wilayah terpencil pun turut menjadi alasan sulitnya pendidikan di negeri ini.
Menurut Lestari Moerdijat selaku Wakil Ketua MPR RI, upaya memberikan layanan pendidikan yang merata di Tanah Air harus dilakukan dengan berbagai upaya.
Antara lain, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, melalui pemberian kemudahan untuk mengakses layanan pendidikan dengan pemberian beasiswa, ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, hingga sistem pembelajaran yang adaptif sesuai dengan kondisi lingkungan di daerah terkait. (MetroNews/6/3/2025).
Ketidakmerataan pendidikan masih menjadi persoalan yang tak kunjung usai dewasa ini. Solusi demi solusi yang dihadirkan oleh penguasa nyatanya tak mampu memberikan penyelesaian yang memuaskan. Dari segi kurikulum yang setiap periode bergantung tergantung siapa menterinya pun turut menyumbang sebab kemerosotan pendidikan.
Dalam kondisi angka kemiskinan yang semakin tinggi, maka semakin sulit bagi rakyat untuk mengakses sarana pendidikan, bahkan pendidikan dasar sekalipun. Negara memang sudah memberikan berbagai program yang diharapkan bisa menjadi solusi, seperti KIP, ‘sekolah gratis’, dan sebagainya.
Namun realitanya tak semua rakyat dapat mengakses layanan pendidikan. Terlebih lagi program tersebut hanya untuk kalangan tertentu dan jumlahnya pun terbatas.
Solusi tambal sulam yang tak berkesudahan seperti ini akan selalu jadi cara untuk menyelesaikan persoalan. Imbasnya, bukannya selesai dengan tuntas, justru menambah masalah baru di hari kemudian.
Tantangan pendidikan dalam sistem kapitalisme ini sangatlah banyak. Dengan asal manfaat dan materi yang begitu kuat di negeri ini, tak mengherankan jika pendidikan pun turut menjadi sektor yang bisa memberikan ruang keuntungan bagi segelintir orang.
Kapitalisasi pendidikan di sistem ini amatlah kejam. Alhasil generasi yang lahir dari sana pun turut menjadi penerut dari busuknya pemikiran kufur penjajah ini.
Lulusan-lulusannya di kemudian hari hanya akan mementingkan aspek manfaat dan keuntungan demi meraih apa yang diinginkan. Pun dalam mengakses pekerjaan yang layak, bisa menggunakan kekuatan materi ataupun koneksi orang dalam.
Akibatnya mereka yang tak punya keberuntungan ini akan terus menerus tenggelam dalam sulitnya akses pendidikan. Seandainya mereka berusaha, maka tak banyak yang mampu bertahan di dalamnya. Tenaga, otak dan pikiran mereka dikuras sedemikian rupa demi mengimbangi arus materialisme yang deras di lini pendidikan.
Dalam khilafah (negara Islam), pendidikan adalah hak setiap warga, miskin ataupun kaya. Artinya negara wajib menyediakan pendidikan secara gratis dan merata untuk membentuk manusia berilmu, bertakwa dan berketerampilan tinggi.
Sistem pendidikan dalam Islam asasnya bukan lah keuntungan atau manfaat, melainkan akidah sebagai pondasi utamanya dengan fokus tujuan mencetak generasi yang memiliki syakhsiah Islamiah (berkepribadian Islam).
Dengan adanya tujuan yang mulia, maka dalam perwujudannya sangat lah jauh dari pertentangan dengan aturan Islam. Di mana lini pendidikan ini tak boleh dicurangi bahkan dijadikan sebagai komoditas yang meraup keuntungan.
Untuk itu, kemudahan akses pendidikan ini, baik secara biaya, sarana, prasarananya, pun juga pemerataan wilayahnya akan menjadi fokus utama yang diwujudkan.
Persoalan biaya pendidikannya, khilafah memiliki sumber dana yang mumpuni untuk mewujudkan hal tersebut. Dana pendidikan akan diambil dari baitul Mal, khususnya pos fai', kharaj, dan kepemilikan umum. Negara mengelola langsung pendidikan tanpa campur tangan swasta.
Serta dengan pengelolaan sumber daya alam oleh negara, yang hasilnya dapat dialokasikan untuk mendirikan sekolah-sekolah serta fasilitasnya.
Sungguh kemuliaan Islam dan aturannya tak punya bandingan dengan ideologi lain, apalagi ideologi lain itu hasil pemikiran kufur penjajah. Sebab Islam turun dari Allah, Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan. Di mana aturan yang terpancar dari ajaran Islam selayaknya buku pentujuk kehidupan di dunia bahkan di akhirat kelak.
Untuk itu, penegakan Islam sebagai aturan kehidupan, baik dalam aspek individu, masyarakat bahkan negara haruslah diperjuangkan. Agar kesejahteraan dan kemudahan akses untuk setiap kebutuhan umat dapat terpenuhi sesuai tujuannya.
Wallahua'lam bishawab.
Oleh: Tri Ayu Lestari
Novelis
0 Komentar