Topswara.com -- Dalam menjalani kehidupan rumah tangga di dalam sistem sekuler-kapitalis saat ini. Para suami acap kali dihadapkan pada beberapa kondisi yang sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan nafkah istri dan anak-anaknya.
Kondisi yang memprihatinkan ini bertambah kompleks ketika para suami dihadapkan kepada tuntutan-tuntutan hidup lainnya, seperti kebutuhan biaya pendidikan anak-anak, termasuk di dalamnya biaya seragam sekolah, sepatu sekolah, serta alat-alat tulis, ada juga biaya listrik, dan biaya air bersih misalnya.
Tuntutan kebutuhan tersebut di masa ini bisa dikategorikan juga sebagai kebutuhan primer. Dalam sistem kapitalisme kebutuhan pokok primer; sandang, pangan, dan papan dijadikan sebagai “komoditas bisnis”. Karena dalam sistem saat ini, kesehatan, pendidikan, bahkan akses terhadap pekerjaan diserahkan pada kapitalis raksasa dan mekanisme pasar.
Akibatnya suami harus bekerja keras dari pagi hingga malam hari, bermandikan keringat setiap harinya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Sebagai kepala keluarga yang diamani oleh Allah SWT untuk memenuhi nafkah keluarganya, acap kali suami harus berpisah dengan istri dan anak-anaknya, karena sulitnya mencari pekerjaan di tempat ia tinggal.
Kalaupun ia mendapatkan pekerjaan yang tak jauh dari tempat tinggal, namun upahnya sangatlah rendah dan tidak sebanding dengan biaya hidup yang semakin hari semakin tinggi.
Alih-alih sebagai pengayom dan penjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat, kehadiran negara hanyalah sebagai regulator. Hal ini berbanding terbalik dengan sistem Islam.
Dalam pandangan Islam negara hadir sebagai penjaga dan pemelihara dalam semua urusan umat (رعاية شؤون الأمة). Negara mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa kebutuhan primer rakyatnya sudah terpenuhi. Bahkan negara wajib hadir langsung ditengah-tengah rakyatnya untuk mengetahui apakah masih ada hak-hak mereka yang belum dipenuhi oleh negara.
Lihatlah beberapa contoh tauladan dari para khalifah (kepala negara) terdahulu dalam menjalan amanah mereka. Kisah Khalifah Umar bin Khattab ra. Yang kebijakan-kebijakannya sangat berpihak kepada rakyat. Beliau mengatur pendistribusian harta negara melalui baitulal secara sistematis.
Setiap bayi yang lahir didata dan diberikan jaminan hidup, termasuk susu dan kebutuhan pokok lainnya. Ia juga mengatur distribusi gandum secara berkala kepada keluarga-keluarga miskin.
Kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang hanya mejabat sebagai Khalifah selama 2 (dua) tahun.
Meski masa pemerintahannya relatif singkat, namun beliau dikenang sebagai salah satu khalifah yang paling adil dan peduli terhadap kesejahteraan rakyat. Dalam 2 (dua) tahun tidak ada orang miskin yang menerima bantuan dari Baitul Mal.
Dalam 2 (dua) tahun, Beliau mendirikan rumah sakit-rumah sakit besar yang dibiayai oleh negara. Begitupun dalam dunia pendidikan. Hingga tidak ada satupun rakyatnya yang tidak memiliki akses pendidikan yang berkualitas. Dan semuanya, lagi-lagi gratis, ditanggung oleh negara.
Begitulah sistem Islam telah melahir para-para pemimpin hebat, yang memiliki tingkat ketaqwaan yang luar biasa. Lantas bagaimana dengan sistem sekulerisme kapitalisme?
Gaya hidup hedonis dan konsumtif semakin menambah beban psikologi suami. Ia tidak hanya dituntut mencukupi kebutuhan dasar, tetapi juga harus memenuhi standar gaya hidup tinggi yang ditampilkan media dan masyarakat, sehingga banyak yang terlilit utang atau stres berat.
Sistem ekonomi kapitalisme menciptakan ketimpangan dalam distribusi lapangan kerja. Banyak suami bekerja di sektor informal, kontrak jangka pendek, atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sewaktu-waktu tanpa perlindungan sosial yang memadai. Hal ini menjadikan nafkah rumah tangga tidak stabil.
Kapitalisme telah terbukti menghancurkan struktur keluarga dengan ketimpangan sosial, tekanan ekonomi, dan krisis peran dalam rumah tangga. Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah melalui institusi Daulah Khilafah, tidak akan ada lagi istri yang kelaparan, suami yang putus asa, atau anak-anak yang kehilangan masa depan karena kekacauan ekonomi.
Wallahu’alam bi shawab.
Oleh: Hamzah Abu Shofiyah
Aktivis Dakwah Islam Kaffah
0 Komentar