Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Belajarlah Menerima Diri Sendiri


Topswara.com -- Penilaian dari orang lain terkadang membuat kita menjadi sulit untuk mencintai diri sendiri. Mulai dari bentuk fisik, seperti tinggi badan, model rambut, warna kulit, bentuk hidung, bibir dan lain-lain. Semuanya kita upayakan agar ikut arus mainstream kebanyakan orang. Bahkan tak jarang manusia rela mengeluarkan biaya bermilyar-milyar demi bisa merubah semua pemberian Allah SWT tersebut melalui operasi plastik. Sehingga mereka bisa mengakui keberadaan kita dan jadi menyukai kita. 

Makanya, tak heran banyak yang menjadi stres. Karena mengikuti omongan orang yang tidak akan ada habisnya, misalnya saja standard punya body goals yang bagus itu, tinggi, putih, langsing, dan ideal. 

Standar cantik itu, kalau kulit putih tanpa pori-pori, bibir kecil, hidung mancung. Standar kaya itu, kalau punya mobil mewah berjajar, rumah bak istana tidak cukup satu, perusahaan dan aset properti menguasai pasar dunia.

Standar pintar itu, kalau bisa cumlaude apalagi lulusan universitas bergengsi dunia. Nah, cara pandang seperti itu sebenarnya refleksi dari ide sekularisme kapitalis saat ini. 

Sekularisme memandang bahwa hidup ini harus dipisahkan dari agama. Jadi, tidak perlu maksiat atau taat, pahala atau dosa, selama manusia senang dan nyaman melakukannya pasti akan dilakukan. Tentu saja pemikiran seperti itu tidak akan pernah membuat puas manusia dan pada akhirnya menjadi stres sendiri.

Makanya, FOMO atau Fear Of Missing Out (rasa takut merasa “tertinggal” karena tidak mengikuti aktivitas tertentu. Sebuah perasaan cemas dan takut yang timbul di dalam diri seseorang akibat ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan hal lainnya) telah menjadi  penyakit mental masyarakat sekarang.

Sadar standar hidup seperti itu adalah toxic, maka orang-orang ramai  berbicara tentang bab bersyukur, menerima apa yang ada pada diri sendiri, mencintai diri sendiri dan jangan fokus kepada kekurangan diri. Ingat, manusia tidak ada yang sempurna.

Namun sikap bersyukur akan menjadi sulit, manakala kita hidup dalam sistem sekuler kapitalis. Kalau dalam Islam, bersyukur itu justru karakter dasarnya seorang Muslim. Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur'an surah Ibrahim ayat 7:

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”

Dalam Islam, syukur itu adalah akhlak mulia yang muncul karena keimanan, kecintaan, dan keridhaan yang besar terhadap Allah Al Wahhaab.

Orang yang bersyukur bisa menerima segala kelebihan dan kekurangannya, yang telah Allah SWT berikan kepadanya. Syukur tidak mungkin bisa terwujud, kalau tidak diawali dengan keridhaan.

Misalnya, seseorang yang diberikan nikmat oleh Allah SWT, walaupun sedikit tidak mungkin akan bersyukur kalau dia tidak ridha. Orang yang pendapatannya pas-pasan tidak akan bisa bersyukur, kalau dia tidak ridha. 

Sebaliknya, ada orang yang diberi wajah good looking, harta kekayaan yang tidak habis-habis hingga tujuh turunan bakalan merasa kurang terus dan tidak bersyukur, kalau tidak diiringi keridhaan.

Gambaran keindahan dari bersyukur tersebut dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya,

"Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang Mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan ia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya."
(Hadis shahih diriwayatkan oleh Muslim nomor 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan)

Jadi, bersyukur itu adalah karakter khas pribadi seorang Muslim, makanya untuk menjadi sebuah karakter khas bagi umat Islam seluruhnya, sebenarnya butuh peran masyarakat dan negara, yaitu khilafah.

Dalam Islam, masyarakat dan negaranya hidup dengan cara pandang yang benar, yaitu keberhasilan dan kesuksesan itu bukan dilihat dari kecantikan, kecerdasan, dan kekayaan, akan tetapi dilihat dari seberapa taat dia kepada Allah SWT. Seberapa manfaat dirinya untuk Islam dan orang lain. Akhirnya misi hidup itu fastabiqul khairat dan kehidupan seperti ini bisa kita lihat ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan khilafah.

Salah satu gambarannya ketika masa kekhilafahan Turki Utsmaniy. Ada yang namanya Askida Ekmek (roti gantung dalam diam). Askida Esmex itu kebiasaan masyarakat pada saat itu untuk berbagai roti gratis tanpa tahu siapa yang memberi dan yang mengambil. Siapa pun yang membutuhkan boleh mengambilnya. Askida Esmex bahkan menjadi tradisi masyarakat Turki hingga sekarang.

Masalahnya saat ini yang berlaku adalah sistem sekuler kapitalis bukan Islam, jadinya akan susah diciptakan masyarakat yang pandai bersyukur. Makanya, mari kita mengkaji Islam kaffah sebagai way of life kita. 

Islam tidak cukup diterapkan dalam kehidupan individu saja, tetapi juga sampai dalam masyarakat dan negara. Tidak cukup ngaji saja, tapi juga harus didakwahkan. Dakwahnya bersama dengan kelompok Islam ideologi seperti kelompoknya Rasulullah SAW. Insyaallah dengan jalan ini khilafah akan bisa kembali ke tengah-tengah kita, aamiin.


Oleh: Nabila Zidane
Analis Mutiara Umat Institute
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar