Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak di Sistem Islam dan Sistem Kapitalisme


Topswara.com -- “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu denga cara yang batil...” (TQS an-Nisa: 29)

Tidak terbayang sebelumnya sekitar 30 atau 40 tahun yang lalu, bahwa saat ini untuk minum menghilangkan haus saja  orang harus membayar. Air itu bagian dari alam sama seperti udara yang disediakan Allah SWT untuk kehidupan makhluk-Nya. 

Tapi zaman sekarang di sistem kapitalis, air diperjual-belikan, orang harus mempunyai uang untuk menggunakannya. Mirisnya harganya terus naik karena pihak swasta diizinkan mengelola sumber air.

Perusahaan-perusahaan swasta inilah yang jadi objek pajak bagi pemerintah. Secara tidak langsung negara dalam sistem kapitalis bisa dikatakan sebagai negara jibayah (negara pemungut pajak) bukan negara riayah (negara pemelihara urusan).

Sungguh ironis memang sebutan negara jibayah tersemat pada negara Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya, tanahnya subur, airnya mengalir di mana-mana dan lautannya luas. 

Tapi itu fakta, Bupati Kabupaten Bandung, Dadang Supriatna, menyampaikan pada acara sosialisasi Peraturan Bupati (Perbup) Bandung No.61 tahun 2021 di Hotel Sutan Raja Soreang bahwa potensi pajak air tanah di Kabupaten Bandung mencapai 1500 perusahaan. Dalam acara sosialisasi Perbup ini, bupati didampingi Erwan Kusuma, Kepala Bapeda Kabupaten Bandung dan dihadiri sekitar 300 wajib pajak dengan mayoritas para pelaku usaha atau industri di Kabupaten Bandung.

Dengan adanya acara ini diharapkan para wajib pajak naik kesadarannya untuk membayar pajak. “Bahwa di sini ada hak dari kita, Pemda. Tadi sudah saya sampaikan dalam sosialisasi kepada wajib pajak, enggak usah khawatir semua pajak yang kita terima akan dipublish dan kita akan sampaikan pertanggungjawabannya,” ujar bupati kepada wartawan. (portalbandungtimur, 29/12/2022)

Dalam negara yang menganut sistem kapitalis, pajak menjadi sumber pendapatan negara untuk membiayai pembangunan. Meski sumber daya alam melimpah, tapi tidak membuat Indonesia memiliki pemasukan yang banyak. 

Bahkan jika terjadi defisit, solusinya dengan mengambil utang kepada lembaga keuangan internasional. Sehingga utang Indonesia mencapai Rp6711,52 triliun per akhir September 2021 yang mustahil terbayar dalam waktu singkat. 

Untuk melunasi utang dan pembiayaan APBN, negara membutuhkan dana yang besar. Salah satunya dari penerimaan pajak. Sehingga Kementerian Keuangan akan selalu mencari celah-celah dan cara agar capaian penerimaan pajak dapat mencukupi anggaran belanja negara. 

Tidak heran negara sangat getol menarik pajak dari rakyat dalam segala bentuk. Seperti yang dikatakan Bupati Kabupaten Bandung, “Memang masih banyak potensi wajib pajak yang perlu kita gali, di antaranya pajak hotel dan restoran.”

Masalahnya pada tahun 2022 ini rakyat harus menerima kado pahit yaitu harus siap-siap dengan kenaikan harga berbagai bahan pokok di depan mata. Awalnya minyak goreng yang naik. Disusul oleh telur, cabe rawit hingga kenaikan tarif PPN sebanya 11 persen. 

Kenaikan tarif PPN ini diatur dalam undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang baru saja disahkan. Aturan ini mulai bulan April 2022 mendatang. Belum lagi kenaikan tarif dasar listrik, premium yang akan “menghilang” dari pasaran, hingga naiknya LPG nonsubsidi. Deretan kenaikan barang tersebut tentu semakin menambah beban rakyat di tahun 2022. 

Masalah lainnya adalah penarikan pajak dari rakyat tidak berbanding lurus dengan kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Selain harga-harga sembako yang terus naik, akses kesehatan dan pendidikan juga semakin sulit bagi rakyat pada umumnya. 

Kenaikan harga sembako akan menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Ketika daya beli menurun, pendapatan mereka pun menurun juga, akhirnya pembayar pajak/rakyat semakin merana.

Demikianlah fakta pemberlakuan pajak dari dulu sampai sekarang, membebani rakyat dan membuat rakyat sengsara. Menurut istilah kontemporer, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Istilah pajak dalam ajara Islam dikenal dengan nama dharibah.

Syaikh Abdul Qadim Zallum mendefinisikannya sebagai harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum muslim untuk membiayainya. (Al-Amwal fid Daulah Khilafah, hal. 129)

Dalam sistem Islam ada sembilan sumber pemasukan tetap kas negara. Di antaranya ada fa’i, jizyah, kharaj dan dari sumber daya alam yang dikelola negara. Berbeda dengan pemasukan tidak tetap, pajak/dharibah adalah pemasukan yang bersifat instrumental dan insidental. 

Bersifat instrumental karena Islam menetapkan kepada kaum muslim fardu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di baitul maal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan syara’ untuk mengambilnya.

Mengenai kewajiban dan pos yang wajib dibiayai, dengan ada atau tidak adanya dana di baitul maal adalah jihad dan industri perang, pengeluaran untuk fakir, miskin dan ibnu sabil, pengeluaran untuk gaji tentara, pegawai negeri, hakim, guru dan semua pihak yang memberikan khidmat kepada negara untuk mengurus kemaslahatan kaum muslim. 

Selain itu biaya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum yang merupakan sarana dan pra sarana utama, yang terakhir biaya untuk penanggulangan bencana alam, kecelakaan dan sejenisnya. Inilah kewajiban dan pos yang wajib dibiayai oleh kaum muslim, karena ini wajib maka berdosa jika ada umat Islam yang menolaknya.

Meski kewajiban tersebut ada di pundak kaum Muslim, tapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi nonmuslim. Pajak hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu, dari kelebihan setelah dikurangi kebutuhan primer dan sekundernya yang proporsional (makruf), sesuai standar hidup mereka di wilayahnya. 

Jadi, pajak dalam sistem Islam bukan untuk menambah pemasukan negara. Negara yang menerapkan sistem Islam juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk panak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli dan lain-lain.

Selain itu, negara dalam sistem Islam tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publiknya, seperti biaya kesehatan, pendidikan dan keamanan. Semua diberikan dengan gratis dan terbaik. Negara juga tidak akan memungut biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom dan sebagainya. Juga tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan lain-lain. Karena semua itu adalah kewajiban negara pada rakyatnya. 

Demikian itulah negara riayah yang mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab. Tidak seperti negara jibayah yang memalak rakyat dalam berbagai bentuk. Jika mau beralih pada sistem islam, maka paradigma negara sebagai penanggung jawab rakyat harus terus diopinikan. Semoga semakin banyak umat Islam yang memahami dan menyadarinya.

Wallahu a’lam bishawwab


Oleh: Umi Lia
(Ibu Rumah Tangga Cileunyi Kabupaten Bandung)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar