Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Buru-buru Pindah Ibu Kota Baru, Ada Apa?


Topswara.com -- Diawali pidato presiden tanggal 26 September 2019 bertepatan pada pidato kenegaraan, presiden minta izin untuk perpindahan Ibu kota.

Selasa (18/1/2022) rapat digelar dan dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani, walaupun masih mendapat perdebatan diketok palu UU IKN tersebut.

Pindah ibu kota negara merupakan persoalan seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya persoalan presiden atau rezim yang berkuasa.

Maka dari itu harus dijalankan ditata dengan baik, mempertimbangkan berbagai hal, dan tidak dilakukan dengan terburu-buru.

Langkah-langkah harus diperhitungkan jangan sampai timbul masalah baru, karena pindah ibu kota butuh waktu lama sehingga butuh effort (usaha) yang kuat, keuangan yang kuat untuk menghadapi stabilitas politik dan ekonomi.

Perpindahan ibu kota ternyata tidak ada landasan hukum, tidak tercantum dalam rencana pembangunan nasional maupun pidato visi-misi saat pencalonan presiden. Walaupun secara legalitas sah akan tetapi miskin partisipasi publik, miskin legitimasi dari rakyat.

Indonesia harus belajar dari negara lain seperti Myanmar. Pemerintah Myanmar gagal pindah ibu kota karena akibat arogansi pemimpinnya. 

Pembangunan kota ini dimulai pada tahun 2004. Laman Britannica menyebutkan, Naypyidaw berada di lokasi terpencil dengan jarak 320 kilometer di sebelah utara Yangon.

Dengan luas total hampir tujuh kali luas Singapura atau sekitar 4.800 kilometer persegi, Naypyidaw memiliki 20 jalur jalan raya, empat lapangan golf, taman safari, kebun binatang lengkap dengan habitat penguin ber-AC, hingga sebuah pagoda spektakuler.

Tak hanya itu, infrastruktur seperti transportasi, mal, restoran, serta fasilitas penunjang lain juga telah ada. Melansir The Star, dengan berbagai fasilitas yang ditawarkan, penduduk kota ini tidak lebih dari seperlima Singapura.

Para penduduk disebut lebih memilih tinggal di Yangon dibanding di ibu kota baru ini. Tentu saja kondisi ini membuat Naypyidaw terlihat sepi. Bahkan beberapa media menyebutnya sebagai "kota hantu".

Sebagian besar diplomat dan bisnis asing juga masih bertempat tinggal dan beraktivitas di Yangon, meskipun pemerintah Aung San Suu Kyi mendorong kedutaan besar untuk pindah ke Naypyidaw, ( Kompas, 7/11/2019).

Jika kita melihat wilayah Kalimantan Timur merupakan jalur yang berdekatan dengan jalur international dan terdapat wilayah konflik yaitu laut Cina Selatan. 

Oleh karena itu pemerintah Indonesia harus memikirkan hal tersebut jika terjadi perseteruan maupun peperangan antara Cina dan AS, maka Indonesia harus siap dalam pertahanan negara. Yang jadi pertanyaan apakah Indonesia sudah siap?

Jika hal tersebut membahayakan dan mengancam kedaulatan negara, maka pindah ibu kota negara harus ditolak oleh masyarakat Indonesia, dengan alasan:

Pertama, merugikan rakyat karena menggunakan APBN 53 persen, disinyalir akan menaikan anggaran APBN dan menambah utang negara serta bunganya.

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا
 "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Al Baqarah: 275).

Jangan sampai dengan perpindahan ibu kota baru justru membebani keuangan negara, maupun pertumbuhan ekonomi jadi semakin lambat.

Kedua, merusak lingkungan Kalimantan Timur, kita tahu wilayah tersebut telah mengalami banjir parah, krisis air bersih, rusak karena penggalian tambang secara brutal. 

Dalam QS. Ar-Rum Ayat 41 Allah SWT berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Kerusakan lingkungan dan bencana telah terjadi di mana-mana, pemerintah harusnya menjaga lingkungan hidup wilayah Kalimantan dan seluruh Indonesia karena  sebagai paru-paru dunia, bagaimana nasib generasi selanjutnya jika lingkungan hidup telah dirusak karena proyek pemindahan ibu kota baru yang tidak mengindahkan kelangsungan lingkungan hidup.

Ketiga, hanya menguntungkan para oligarki negeri ini, bukan lagi kepentingan rakyat. Sistem demokrasi-sekuler telah merusak kehidupan politik, ekonomi, sosial, pemerintahan, dan di bidang lainnya karena dengan asas manfaat tersebut para pemilik modal dengan mudah mengendalikan sistem politik di negeri ini. 

Semua aturan yang terlahir telah menyengsarakan rakyat,  sistem kehidupan tersebut bisa dikembalikan dengan menerapkan hukum Islam, karena dengan kembalinya hukum Islam akan diatur sesuai fitrahnya manusia hukum tertinggi pada syara' sehingga tidak ada campur tangan manusia, ataupun yang memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri.

Keempat, menguntungkan investor asing yang ikut menanam modal untuk pembangunan ibu kota baru. Banyak negara hancur karena proyek investasi infrastruktur yang ditawarkan negara-negara besar seperti Cina. Jangan sampai Indonesia terlena dengan iming-iming suntikan dana besar sehingga justru menghancurkan pertahanan negara karena intervensi asing.


Oleh: Munamah
(Analis Mutiara Umat)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar