Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Takut Nikah karena Takut Hidup Susah


Topswara.com -- Generasi muda saat ini cenderung menilai kestabilan ekonomi lebih penting daripada segera menikah. Karena itu, mereka menunda menikah sampai merasa stabil secara finansial. 

Hal ini sebagaimana data dari Badan Pusat Statistika (BPS) yang menunjukkan bahwa pada 2024 terdapat 69,75 persen pemuda berusia 16-30 belum menikah, sementara hanya 29,10 persen yang sudah menikah. Angka ini memperlihatkan bahwa mayoritas generasi muda memilih untuk tetap melajang. 

Sementara itu, survei Populix pada Februari 2025 juga menunjukkan perubahan signifikan mengenai waktu ideal untuk menikah. 

Sebanyak 1.038 responden disurvei yang hasilnya 61 persen memilih usia 25-30 tahun sebagai waktu ideal untuk menikah, 32 persen memilih usia 20-25 tahun, dan 8 persen memilih menikah di atas usia 30 tahun. Hasil ini memperlihatkan bahwa generasi muda sekarang memilih menunda pernikahan sampai merasa mapan ekonominya. (rri.co.id, 2-12-2025)

Kondisi ini memperlihatkan perubahan gaya hidup dari generasi sebelumnya. Bila dahulu menikah merupakan tonggak kedewasaan yang harus dicapai sehingga kalau tidak segera menikah dianggap masalah besar. Terlambat menikah sering dianggap hal yang memalukan. 

Namun, kini persepsi tersebut berubah. Generasi sekarang justru lebih takut hidup susah ketimbang tidak segera menikah. Masalah ekonomi lebih penting daripada menikah. Karena itu, mereka menunda menikah sampai merasa mapan dahulu secara ekonomi. Mereka takut kalau menikah malah membuat hidup makin susah.

Perubahan ini berkaitan dengan kondisi ekonomi yang kian tak menentu. Kesulitan ekonomi membayangi generasi. Mereka merasakan sendiri bagaimana sulitnya kehidupan saat ini. 

Lonjakan harga kebutuhan, biaya hunian yang tinggi, dan ketatnya persaingan kerja membuat mereka memilih menunda menikah. Mereka melihat kestabilan ekonomi lebih penting daripada segera menikah.

Narasi “Marriage is Scary” kian menambah ketakutan anak muda untuk melaksanakan pernikahan. Mereka pun memilih untuk tetap melajang sambil sibuk berkarir atau bergaul dengan teman-temannya. 

Ketakutan hidup susah ini dibentuk oleh sistem kapitalisme yang membuat biaya hidup tinggi, lapangan pekerjaan sempit, dan upah yang rendah. Biaya kebutuhan yang mahal, sementara upah pas-pasan sehingga tak mampu mencukupi secara layak. Ditambah lagi dengan lapangan pekerjaan yang kian sempit membuat persaingan kerja makin sengit.

Inilah yang terjadi ketika negara lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Negara malah berperan sebagai regulator bagi kepentingan kapitalis. Buktinya adalah sumber daya alam yang dikuasai swasta.

Andaikan SDA dikelola sendiri oleh negara, maka dapat membuka lapangan kerja yang luas bagi rakyat. Hasil pengelolaannya pun dapat dinikmati oleh seluruh rakyat. Namun, negara justru membiarkan swasta mengelola SDA sehingga hasilnya lebih banyak mengalir ke segelintir pengusaha.

Penerapan sistem sekularisme kapitalisme juga menjadikan generasi hidup dalam dunia yang memuja materi. Gaya hidup materialistis dan hedon menjangkiti generasi. Materi dianggap segalanya.

Kebahagiaan diukur dari materi sehingga bila tidak memilikinya ia merasa sengsara. Akibatnya, materi akan diraih dengan segala cara meskipun itu haram dan dilarang oleh agama.

Pendidikan yang sekuler juga menghasilkan generasi yang jauh dari agama. Hal ini berdampak pada pandangan terhadap pernikahan yang dianggap sebagai beban. 

Pernikahan bukan dilihat sebagai ibadah, ladang kebaikan, dan tempat melanjutkan keturunan sebagaimana pandangan agama, melainkan sesuatu yang menakutkan karena membuat hidup penuh dengan beban berat.

Berbeda halnya ketika sistem Islam yang diterapkan negara. Islam memerintahkan negara sebagai pengatur urusan rakyat. Negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat secara tidak langsung. 

Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, negara mengelola SDA sehingga memungkinkan terbukanya banyak lapangan kerja bagi rakyat. Dengan begitu, rakyat dapat penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarga.

Pengelolaan SDA yang merupakan milik umum juga akan memaksimalkan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat. Biaya hidup menjadi terjangkau sehingga rakyat dapat memanfaatkan pendapatannya untuk hal lain.

Negara juga akan menerapkan pendidikan berbasis akidah Islam yang membentuk karakter generasi muslim yang taat pada syariat. Mereka memegang prinsip sehingga tidak mudah terbawa arus, apalagi terjebak gaya hidup hedonisme dan materialisme. Generasi muslim justru menjadi penyelamat umat dari rusaknya sistem sekularisme kapitalisme.

Generasi juga akan melihat pernikahan sebagai ibadah kepada Sang Pencipta. Institusi keluarga menjadi penjagaan keturunan sehingga dibangun dalam rangka meraih rida-Nya. 

Inilah ketika sistem Islam diterapkan secara kaffah oleh negara. Tidak ada ketakutan menikah gara-gara khawatir hidup susah. Dengan pengaturan Islam, negara mampu menjamin kebutuhan setiap individu sekaligus menciptakan suasana ketakwaan di tengan masyarakat.


Oleh: Nurcahyani 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar