Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Anak Bangsa dalam Cengkeraman Kapitalisme Digital


Topswara.com -- Perkembangan teknologi digital seharusnya membawa manusia menuju kemajuan. Namun kenyataannya, di bawah sistem kapitalisme global, teknologi justru sering berubah menjadi mesin perusak mental, terutama bagi generasi muda Indonesia. 

Fenomena kecanduan gadget, screen time berlebihan, hingga digital dementia semakin nyata terlihat di tengah masyarakat. Anak-anak dan remaja kini lebih akrab dengan layar ponsel daripada interaksi manusia di sekitarnya.

Indonesia bahkan disebut sebagai salah satu negara dengan tingkat kecanduan digital tertinggi dunia. Sejak usia sangat dini, anak-anak sudah terpapar media sosial karena tidak adanya batasan usia yang tegas. 

Padahal berbagai temuan ilmiah menunjukkan media sosial memiliki dampak serius terhadap kesehatan mental. Sayangnya, bukti-bukti itu sering diabaikan oleh perusahaan teknologi yang lebih mengutamakan keuntungan daripada keselamatan psikologis pengguna.

Di balik fenomena ini, kapitalisme digital bekerja dengan sangat terencana. Sistem kapitalisme mendorong perusahaan teknologi untuk terus memaksimalkan profit, bahkan jika itu harus mengorbankan generasi muda. 

Algoritma platform digital dirancang bukan untuk mendidik atau memberdayakan pengguna, melainkan untuk membuat mereka kecanduan. 

Fitur-fitur seperti swipe tanpa akhir, scroll tidak terbatas, serta notifikasi yang memicu dopamin menjadi alat yang efektif untuk membuat manusia terjebak dalam aplikasi selama mungkin.

Akibatnya, banyak remaja mudah stres, mudah cemas, dan ironisnya mudah merasa kesepian meskipun berada di tengah keramaian. Mereka terbiasa mencari validasi digital, bukan membangun penghargaan diri yang autentik. 

Namun kerusakan ini tidak menjadi perhatian para raksasa teknologi. Selama pengguna terus menatap layar, selama itu pula keuntungan mengalir melalui iklan dan monetisasi data pribadi.

Yang lebih memprihatinkan, Indonesia hanya dijadikan pasar bagi perusahaan-perusahaan digital tersebut. Negara tampak tidak memiliki daya tawar yang kuat untuk melindungi rakyatnya dari dampak buruk teknologi. Regulasi mengenai batas usia pengguna media sosial nyaris tidak ada. 

Pengawasan konten pun longgar, sehingga anak-anak dapat mengakses informasi yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan mereka. Tidak terlihat langkah besar dan menyeluruh untuk membentengi generasi muda dari kerusakan mental akibat paparan digital yang berlebihan.

Padahal anak muda hari ini adalah calon pemimpin bangsa di masa depan. Jika mental mereka sudah rapuh sejak dini, bagaimana masa depan bangsa bisa dibayangkan dengan optimis?

Dalam pandangan Islam, generasi muda bukan sekadar kelompok usia, tetapi aset peradaban. Rasulullah ï·º memberikan perhatian besar kepada pemuda, sebagaimana dalam sabdanya: “Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan Allah, salah satunya adalah pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah.” (HR. Bukhari & Muslim). 

Hadis ini menegaskan betapa berharganya pemuda yang tumbuh dalam lingkungan yang benar dan terjaga.

Karena itu, dalam sistem pemerintahan Islam, negara memiliki tanggung jawab besar untuk membina dan menjaga generasi muda. Pendidikan dirancang untuk membangun akhlak, akidah, serta sakhsiyah Islam sejak kecil, sehingga anak tidak tumbuh sebagai konsumen pasif teknologi, melainkan pribadi yang kritis dan beradab. 

Nilai ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. At-Tahrim ayat 6: “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” Ayat ini menjadi landasan kuat pentingnya perlindungan terhadap generasi dari pengaruh yang merusak.

Selain pendidikan, peran orang tua juga diperkuat. Dalam Islam, orang tua adalah madrasah pertama yang membentuk karakter anak. Negara memberikan dukungan agar keluarga menjadi tempat yang kondusif bagi tumbuhnya kepribadian yang tangguh. 

Lingkungan sosial pun didorong untuk menjalankan fungsi kontrol melalui amar makruf nahi mungkar, sehingga masyarakat secara kolektif menjaga kesehatan moral dan mental generasi.

Dalam pengelolaan dunia digital, negara Islam menerapkan pengaturan yang ketat. Konten digital diawasi agar hanya yang memiliki nilai kebaikan dan tidak merusak akhlak yang boleh beredar. Platform media sosial tidak otomatis diizinkan beroperasi; semuanya dinilai berdasarkan keamanan moral dan mental pengguna. 

Batas usia akses diterapkan dengan serius, bukan sebagai formalitas belaka. Teknologi AI pun diatur agar tidak digunakan untuk manipulasi atau eksploitasi psikologis, tetapi diarahkan untuk memberikan manfaat nyata bagi umat.

Pada akhirnya, persoalan ini bukan hanya tentang gadget atau screen time. Akar permasalahannya jauh lebih dalam, yakni pada sistem kapitalisme yang menjadikan manusia sebagai obyek komodifikasi demi keuntungan. Selama sistem ini tetap menjadi fondasi pengelolaan teknologi, kerusakan mental generasi muda akan terus berulang.

Islam menawarkan sistem yang mengembalikan kemuliaan manusia sebagai makhluk terbaik ciptaan Allah, bukan sekadar target pasar. Dengan visi peradaban yang agung, Islam mampu mengembalikan teknologi kepada fungsi sejatinya: alat untuk memuliakan manusia, membangun ilmu, dan memperkuat peradaban bukan menghancurkannya.

Semoga kita mampu melihat realitas ini dengan jernih dan kembali kepada aturan Allah yang menjamin kemuliaan generasi dari masa ke masa.

Wallahu a'lam bishshawab.


Oleh: Ema Darmawaty 
Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar