Topswara.com -- Fenomena makin banyaknya generasi muda yang menunda bahkan takut menikah bukan sekadar tren sosial. Ia adalah gejala lebih dalam, cerminan dari luka struktural yang dihasilkan oleh sistem ekonomi kapitalistik.
Di berbagai survei dan laporan media, generasi muda menilai bahwa kestabilan ekonomi jauh lebih penting daripada menikah muda. Mereka tidak lagi melihat pernikahan sebagai ruang aman untuk membangun masa depan, tetapi justru sebagai sumber risiko baru—beban tambahan yang menakutkan.
Lonjakan harga kebutuhan, biaya hunian yang melambung, serta persaingan kerja yang kian ketat membuat pernikahan dipandang sebagai keputusan yang perlu ditunda tanpa batas.
Narasi “marriage is scary” akhirnya menemukan lahan subur. Media, budaya populer, dan lingkup sosial yang dipenuhi ketidakpastian ekonomi memperkuat keyakinan bahwa menikah hanya akan memperparah kesulitan.
Ketika realitas hidup sehari-hari begitu berat, generasi muda merasa wajar jika mereka memilih menunda komitmen, bahkan menghindari pernikahan sama sekali.
Namun bila kita menelisik lebih dalam, ketakutan ini bukanlah bawaan generasi. Ia dibentuk, dikonstruksi, dan disuburkan oleh sistem yang mengatur kehidupan mereka.
Di sinilah pentingnya membaca persoalan ini dengan kacamata Islam perspektif yang tidak hanya melihat perilaku personal, tetapi juga struktur kekuasaan dan kebijakan yang membentuknya.
Kapitalisme dan Ketakutan Kolektif untuk Menjadi Keluarga
Kapitalisme adalah sistem yang hidup dari kompetisi bebas, kepemilikan individu atas sumber daya, dan pengukuran nilai hidup berdasarkan kemampuan membeli.
Dalam sistem ini, harga kebutuhan pokok cenderung naik, biaya hunian semakin sulit dijangkau, dan lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah pencari kerja. Upah stagnan, sementara biaya hidup terus menanjak. Di sinilah akar ketakutan generasi muda terhadap pernikahan.
Pernikahan membutuhkan kestabilan, sementara kapitalisme menghadirkan ketidakpastian. Maka, ketika generasi muda berkata mereka takut miskin setelah menikah, itu sesungguhnya bukan masalah mentalitas.
Ini adalah respons rasional terhadap sistem yang membebankan keselamatan ekonomi sepenuhnya kepada individu. Negara, yang seharusnya menjadi penjamin kesejahteraan rakyat, justru berperan sebagai regulator yang melancarkan logika pasar, bukan pelindung rakyat.
Dalam logika kapitalisme, negara tidak berkewajiban memberi jaminan kehidupan. Rakyat harus bertahan hidup sendiri. Maka tidak heran bila generasi muda merasa sendiri dalam menghadapi hidup: biaya pendidikan, perumahan, kesehatan, hingga kebutuhan pokok semuanya mengandalkan kemampuan pribadi.
Tidak ada jaring pengaman. Tidak ada kepastian. Yang tersisa hanyalah rasa takut gagal, rasa takut membawa pasangan dan anak ke dalam kesulitan.
Pendidikan Sekuler dan Budaya Hedon
Ketakutan terhadap pernikahan juga terbentuk oleh budaya materialis yang tumbuh dari pendidikan sekuler dan media liberal. Pendidikan tidak lagi mencetak pribadi berkarakter dan berorientasi pada kemaslahatan umat, tetapi pemburu prestise, status, dan kesenangan.
Kehidupan ideal digambarkan dengan indikator materi: gadget terbaru, liburan mahal, mobil mewah, apartemen di tengah kota.
Dalam budaya semacam ini, pernikahan bukan lagi ladang kebaikan ataupun ibadah. Ia dilihat sebagai proyek finansial yang harus memenuhi standar tertentu: pesta mewah, rumah pribadi, pendapatan stabil, dan gaya hidup yang tetap sama seperti ketika masih lajang. Jika standar itu tidak terpenuhi, pernikahan dianggap belum layak.
Akibatnya, pernikahan kehilangan makna ruhiyah, moral, dan sosialnya. Ia direduksi menjadi transaksi biaya dan risiko. Tidak ada lagi pandangan bahwa menikah adalah bagian dari ibadah, penjaga kehormatan, dan jalan untuk memperkuat masyarakat. Ketika makna hilang, yang tersisa hanyalah beban.
Pernikahan dalam Perspektif Islam
Islam memandang pernikahan sebagai institusi fundamental dalam membangun peradaban. Ia adalah ruang aman untuk menjaga keturunan, mengokohkan moralitas, dan menguatkan masyarakat.
Namun, Islam tidak berhenti pada nasihat moral. Islam juga menyediakan sistem politik dan ekonomi yang memastikan rakyat mampu menjalani kehidupan berkeluarga dengan layak.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat—sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Negara juga bertanggung jawab membuka lapangan kerja, sehingga setiap laki-laki yang menjadi kepala keluarga dapat bekerja dan menafkahi keluarganya dengan terhormat. Kestabilan ekonomi bukan hanya doa, tetapi hak warga negara.
Ketika negara mengelola milkiyyah ammah (kepemilikan umum) seperti sumber daya alam, energi, dan hutan, hasilnya kembali kepada rakyat.
Bukan kepada swasta atau asing. Ini secara langsung menekan biaya hidup, membuat kebutuhan dasar dapat dijangkau setiap keluarga. Anak muda tidak lagi tercekik beban biaya hunian, listrik, air, atau transportasi seperti dalam sistem kapitalisme.
Lebih dari itu, pendidikan berbasis akidah melahirkan generasi yang berkarakter, tidak hanyut dalam hedonisme, dan memahami pernikahan sebagai amanah mulia. Mereka tidak menjadikan materi sebagai ukuran kebahagiaan, melainkan keberkahan dan kontribusi bagi umat.
Dalam masyarakat Islam, keluarga tidak berjalan sendiri. Negara hadir, masyarakat hadir, dan nilai agama menjadi pondasi. Dengan dukungan struktur seperti ini, pernikahan bukan lagi sesuatu yang menakutkan, melainkan jalan menuju ketenangan dan keberdayaan.
Saatnya Menyembuhkan Luka Kapitalisme dan Kembali pada Sistem Islam
Ketakutan generasi muda untuk menikah adalah gejala penyakit yang lebih dalam—yakni ketidakadilan struktural dari sistem ekonomi kapitalis. Mengatasi fenomena ini tidak cukup dengan seminar motivasi, kampanye menikah muda, atau narasi “pernikahan itu mudah”. Tanpa perubahan sistemik, ketakutan itu akan tetap hidup.
Politik Islam menawarkan paradigma yang berbeda: negara yang bertanggung jawab, ekonomi yang manusiawi, pendidikan yang membentuk karakter, dan keluarga sebagai institusi suci yang dijaga bersama.
Inilah jalan untuk menyembuhkan luka panjang akibat kapitalisme. Inilah jalan agar generasi muda kembali percaya bahwa pernikahan bukan ancaman, melainkan anugerah.
Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan

0 Komentar