Topswara.com -- Indonesia berduka. Dalam hitungan hari, sejumlah wilayah diterjang tragedi ekologis seolah alam tengah memberi peringatan bahwa ada yang keliru dalam arah pembangunan negeri ini.
Gelombang bencana yang menghantam negeri longsor, banjir rob, dan angin puting beliung bukan sekadar musibah alamiah, tetapi cermin dari kelalaian tata kelola lingkungan yang terakumulasi.
Lembaga yang sibuk bereaksi, bukan mencegah, kebijakan yang memuliakan izin dan investasi, bukan keselamatan, serta korporasi yang menjarah fungsi ekologis demi keuntungan jangka pendek.
Fakta-fakta itu terang-menderang di hadapan kita: longsor besar di Cilacap hingga Presiden memerintahkan percepatan penanganan (Media Indonesia, 15/11/2025), dugaan puluhan korban tertimbun di Banjarnegara (CNN Indonesia, 17/11/2025).
Operasi pencarian di Cilacap yang memasuki hari ke-10 tanpa hasil, serta analisis yang menegaskan lemahnya mitigasi struktural (Mongabay, 19/11/2025). Semua ini menunjukkan satu hal yang tidak bisa dibantah: negara ini berjalan tanpa etika ekologi.
Banjir hari ini bukan lagi tentang hujan, tetapi tentang hilangnya pohon yang ditebang perusahaan besar. Longsor bukan sekadar gejala tanah rapuh, tetapi konsekuensi dari izin yang diteken tanpa malu.
Abrasi, kekeringan, air kotor seolah menjadi musim rutin negeri ini. Kita seperti dipaksa berdamai dengan bencana, menerimanya sebagai takdir, bukan akibat dari kesalahan kebijakan.
Padahal akar masalahnya telah jelas alam diperlakukan sebagai komoditas yang dapat memberikan cuan fantastis. Alam dipandang bukan amanah yang harus dikelola untuk kesejahteraan rakyat.
Setiap kali bencana menimpa, negara buru-buru membentuk posko, menggelar konferensi pers, dan menyebar jargon: mitigasi, adaptasi, peringatan dini. Namun mitigasi kita lebih hidup di baliho daripada di kebijakan. Retorika hadir tepat waktu, tindakan selalu terlambat.
Setelah lumpur menelan rumah atau desa tenggelam, negara lalu mencari kambing hitam: cuaca ekstrem, perubahan iklim, atau masyarakat yang tinggal “terlalu dekat” sungai. Padahal negara sendiri lah yang memberi karpet merah pada investasi di bibir sungai dan lereng rawan.
Sesungguhnya kapitalisme telah membentuk cara pandang negara bahwa alam sebagai mesin profit. Hutan ditukar angka pertumbuhan, sungai dijadikan tempat limbah, gunung dijadikan komoditas tambang.
Maka lahirlah bencana yang bukan musibah murni, tetapi hasil dari kebijakan yang menempatkan pasar di atas nyawa rakyat. Logika kapital selalu menemukan pembenaran, jika rusak, salah cuaca, jika ambruk, salah warga. Negara pun ikut mencuci tangan karena ia sendiri terjerat kepentingan modal.
Islam menawarkan paradigma yang berbeda. Dalam visi Khilafah, bumi bukan barang dagangan, tetapi amanah yang harus dikelola dengan takwa. Sumber daya alam adalah milik umum yang tidak boleh diprivatisasi oleh korporasi lokal maupun asing.
Rasulullah bersabda:
“Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Hadis ini menjadi dasar kuat bahwa sumber daya dasar seperti air, energi, padang gembala, termasuk turunannya (hutan, tambang besar, energi publik), wajib dikelola negara untuk seluruh umat, bukan diprivatisasi.
Dengan prinsip ini, syariah menutup pintu bagi eksploitasi brutal. Negara menjadi pihak pertama yang berkepentingan menjaga keseimbangan alam, bukan demi pencitraan, tetapi karena kewajiban syar’i.
Sejarah mencatat, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menutup jalur eksploitasi yang merusak hutan dan memulihkan tanah-tanah kritis. Pada masa Abdurrahman An-Nasir di Andalusia, negara membangun kanal, irigasi, dan sistem drainase yang mencegah banjir sekaligus memakmurkan lahan.
Di wilayah Syam dan Jazirah, pemukiman ditata agar tidak berada di jalur bahaya. Negara bertindak sebagai arsitek keselamatan, bukan pemadam kebakaran yang datang ketika semuanya telah runtuh.
Nabi SAW pun menetapkan etika ekologis yang tegas, melarang penebangan sembarangan, menetapkan tanah harim sebagai kawasan konservasi, dan mengharamkan polusi terhadap air yang menjadi milik umum.
Dalam kerangka syariah, mitigasi bukan jargon anggaran, tetapi instrumen wajib untuk menjaga nyawa rakyat berbasis riset, penataan ruang yang disiplin, dan sistem peringatan dini yang menyatu dengan kebijakan.
Namun hari ini, setiap bencana masih disebut sebagai “force majeure”, seakan negeri ini selalu terkejut oleh sesuatu yang sebenarnya dapat diprediksi. Publik diminta “bersabar” istilah religius yang dipakai menutupi kegagalan negara.
Selama etika ekologis tidak berbasis pada ideologi Islam, maka kebijakan akan selalu tunduk kepada logika kapital, kita hanya akan berpindah dari satu bencana ke bencana berikutnya.
Islam menawarkan jalan yang lebih baik: tata kelola yang beretika, ilmiah, preventif, dan berorientasi pada penjagaan nyawa. Sebuah sistem yang memandang alam dengan tuntunan Sang Pencipta, bukan dengan pasar. Sebuah kepemimpinan yang memikul amanah, bukan mencuci tangan dari kesalahan. []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)

0 Komentar