Topswara.com -- Kita hidup di masa ketika informasi berloncatan dari satu gawai ke gawai lain tanpa mengenal henti. Semua terasa mudah, cepat, dan praktis.
Namun di balik kemudahan itu, ada ancaman besar yang mulai menggerogoti generasi muda, ancaman yang datang dari layar yang ada di genggaman mereka sendiri.
Ruang digital hari ini bukan hanya tempat bertukar informasi, tetapi juga tempat bertebarannya konten yang merusak akhlak, cara berpikir, bahkan cara beragama para remaja muslim.
Tidak sedikit yang awalnya hanya sekadar menonton hiburan ringan, namun perlahan terseret ke dunia yang penuh ide menyimpang, gaya hidup bebas, hingga perspektif keagamaan yang keliru. Dari sini terbentuklah generasi yang tampak beragama di permukaan, tetapi kehilangan kedalaman iman dalam batinnya.
Ada pengelupasan identitas secara perlahan: di dunia nyata seolah religius, tetapi di dunia maya larut dalam hidup sekuler. Inilah generasi yang rapuh, mudah cemas, mudah terseret tren, seakan dikuasai oleh algoritma lebih daripada akidah.
Kalau kita melihat lebih jauh, teknologi pada dasarnya bukan musuh. Banyak manfaat yang tak bisa kita pungkiri. Tetapi tanpa pengawasan dan aturan yang benar, teknologi berubah menjadi pintu besar bagi kerusakan.
Anak SD bisa mengakses pornografi hanya dengan dua klik. Remaja tenggelam dalam judi online dan pinjaman daring yang menghancurkan masa depan. Perundungan digital dibiarkan begitu saja. Perdagangan manusia berselimut aplikasi.
Bahkan urusan agama pun dijajah melalui konten moderasi yang menggerus keyakinan dan menanamkan relativisme. Kemajuan digital yang mestinya memudahkan hidup justru mengalirkan racun ke mental dan kepribadian anak-anak.
Pertanyaannya: siapa yang bertanggung jawab melindungi mereka? Idealnya negara hadir sebagai tameng, sebagai pelindung yang menjaga generasi dari ancaman. Namun realitas negara sekuler hari ini jauh dari harapan itu.
Ruang digital diperlakukan layaknya pasar bebas: yang penting traffic tinggi, iklan berjalan, profit mengalir. Standar moral nyaris tak masuk hitungan. Tidak ada sensor yang sungguh-sungguh menyelamatkan.
Tidak ada visi besar untuk melindungi generasi. Negara baru bergerak kalau sudah ada kasus yang meledak, padahal ancaman ini seharusnya dicegah sejak awal.
Akibatnya, remaja kita tumbuh sendirian tanpa bimbingan, belajar tentang hidup dari konten viral, bukan dari nilai-nilai Islam.
Dalam pandangan Islam, generasi adalah aset terbesar umat. Mereka adalah penerus risalah, penentu masa depan dakwah. Karena itu, Islam menempatkan negara sebagai pengurus dan penjaga umat, bukan sekadar administrator.
Negara dalam sistem Islam bertugas memastikan rakyat terlindungi, baik di dunia nyata maupun di ruang digital. Itulah yang dahulu pernah diwujudkan oleh institusi pemerintahan Islam yang berfungsi sebagai pelindung, bukan hanya pengelola.
Negara yang menerapkan syariat secara menyeluruh akan menempatkan penyelamatan generasi sebagai prioritas. Teknologi akan digunakan untuk menyaring ketat setiap konten yang berpotensi merusak karakter dan akidah. Internet diarahkan menjadi ruang pendidikan dan dakwah, bukan kubangan kerusakan.
Anak-anak tumbuh dengan benteng moral yang kokoh, bukan dibiarkan berhadapan dengan dunia maya yang tak mengenal batas. Ketika Islam menjadi dasar hukum, praktik buruk seperti pornografi, judi online, penipuan digital, eksploitasi, dan penyebaran ide sesat dapat diberantas dari akar-akarnya. Negara bertindak tegas bukan demi citra, tetapi demi menjaga umat.
Karena itu, memperjuangkan tegaknya syariat bukan sekadar slogan atau nostalgia sejarah. Ini kebutuhan nyata untuk menyelamatkan generasi.
Kita tidak sedang bicara ide besar yang abstrak, tetapi kebutuhan paling konkret: generasi muda yang tumbuh kuat secara akidah, kokoh dalam akhlak, matang dalam intelektual, dan siap memikul amanah sebagai bagian dari umat terbaik.
Ruang digital seharusnya menjadi taman ilmu dan kebaikan. Namun itu hanya bisa terwujud jika ada sistem yang benar-benar berpihak pada keselamatan umat, bukan pada kepentingan ekonomi pasar.
Sekarang pilihannya ada di tangan kita semua: membiarkan generasi kita terus hanyut dalam arus konten berbahaya, atau berjuang menghadirkan tatanan yang mampu menjadikan mereka kuat dan bermartabat. Generasi adalah masa depan, dan menyelamatkannya bukan pilihan, tetapi kewajiban kita bersama. []
Penulis: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)

0 Komentar