Topswara.com -- Tidak semua orang diberi hati selapang samudra untuk menerima takdir. Banyak yang mampu tertawa, tetapi tidak semua mampu bertahan ketika hidup mengantarkan ujian paling getir. Karena menerima takdir itu bukan tanda kelemahan, melainkan bukti kedewasaan iman.
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa ridha terhadap takdir adalah puncak dari perjalanan hamba menuju Allah. Sebab orang yang ridha atas ketetapan-Nya akan merasakan ketenangan yang tidak mampu dicuri oleh keadaan.
Sementara orang yang menolak takdir, hatinya akan terus resah meski seluruh dunia telah berusaha menghiburnya.
Allah sendiri menegaskan dalam Al-Al-Qur'an surah At-Taghabun ayat 11, “Tidak ada musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia memberi petunjuk kepada hatinya.”
Ulama tafsir seperti Al-Qurthubi menyebutkan,yang dimaksud hatinya diberi petunjuk adalah ia memahami bahwa musibah itu datang dari Allah, sehingga ia mampu bersabar.
Dan di sinilah letak keagungan seorang wanita yang diuji dengan pengkhianatan suaminya.
Pertama, bagi wanita yang diselingkuhi suaminya, itu takdir dan kesabarannya adalah tanda kekuatan dan kemuliaan.
Karena pengkhianatan itu menyakitkan, tapi takdir itu bukan pilihan dirinya. Ia tidak meminta dikhianati. Ia tidak mencari luka itu. Tetapi Allah menakdirkan ujian itu menimpa dirinya bukan karena Allah membenci, melainkan karena Allah ingin menaikkan derajatnya.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menulis bahwa ujian yang datang tanpa dipilih hamba adalah bentuk kasih sayang Allah, sebab Dia ingin membersihkan dosa dan mengangkat derajatnya.
Nabi SAW bersabda, “Tidaklah seorang mukmin tertimpa keletihan, sakit, kesedihan, atau musibah, kecuali Allah menghapus kesalahannya.”
(HR. Bukhari-Muslim).
Maka jika ada wanita yang mampu bertahan, bersabar, menahan amarah, tidak membalas dendam, bahkan mampu memaafkan, maka itu bukan wanita biasa, itu wanita yang sedang disayang Allah.
Bukan lemah, tetapi sangat kuat. Bukan kalah, tetapi sedang ditinggikan derajatnya. Bukan bodoh, tetapi hatinya diisi cahaya kefahaman tentang takdir.
Kedua, tetapi bagi wanita yang bersedia menjadi selingkuhan. Ketahuan bukannya mundur malah nantangin. Bahkan bangga memamerkan hasil selingkuhan tanpa peduli perasaan istri sah, itu bukan takdir, tetapi pilihan.
Berbeda dengan wanita yang dikhianati, wanita yang mau menjadi selingkuhan bukan sedang terkena takdir, tapi sedang membuat pilihan moral yang buruk, yang akan dihisab satu per satu.
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa takdir dibagi dua, yaitu takdir yang menimpa hamba tanpa pilihan (musibah) dan
Takdir yang dilakukan hamba melalui kehendaknya (maksiat).
Dan seorang mukmin diwajibkan ridha pada takdir musibah, namun harus bertaubat dari takdir maksiat yang ia pilih sendiri. Maka, ketika seorang wanita rela menjadi orang ketiga, itu bukan “takdir sudah mengatur”, tetapi nafsu yang ia biarkan menang.
Nabi SAW bersabda, “Setiap anak Adam pasti berdosa, dan sebaik-baik pendosa adalah yang bertaubat.”
(HR. Tirmidzi).
Ulama menjelaskan, dosa hanya terjadi pada perbuatan yang kita pilih, bukan pada hal-hal yang dipaksa kepada kita.
Maka siapa pun yang memilih jalan menjadi pelakor, ani-ani ataupun simpanan, itu bukan nasib, bukan takdir, bukan garis hidup yang tak dapat diubah. Itu pilihan yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah, kecuali dia segera bertaubat dan menutup pintu-pintu kerusakan itu.
Ketiga, menerima takdir adalah keutamaan batin yang sangat tinggi. Para ulama menjelaskan, menerima takdir adalah tanda kekuatan hati, kematangan iman, dan kedekatan dengan Allah.
Imam Al-Ghazali mengatakan, “ridha adalah tingkatan tertinggi para pecinta Allah. Sebab ia melihat segala sesuatu sebagai ketetapan dari Kekasihnya.”
Dan wanita yang menerima takdir getir, lalu memilih jalan sabar, tidak meledak-ledak, tidak membuka aib suami, tidak merusak rumah tangga orang lain itu adalah kelas wanita yang Allah banggakan di hadapan para malaikat.
Jadi sob, diselingkuhi adalah takdir. Menjadi selingkuhan adalah pilihan dan istri yang diuji dan tetap sabar adalah pemenang yang sebenarnya.
Wanita yang memilih jalan maksiat adalah hamba yang harus segera bertaubat dan kelak, di hadapan Allah, tidak ada luka yang sia-sia, tidak ada air mata yang hilang begitu saja. Semuanya dicatat, semuanya dihitung, semuanya diganti dengan kebaikan yang berlipat-lipat.
Sebab menerima takdir dengan lapang dada adalah ibadah hati yang hanya mampu dilakukan oleh hamba-hamba pilihan. []
Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

0 Komentar