Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisme, Mesin Kematian Rantai Ekologi


Topswara.com -- Alam perlahan kehilangan napasnya, kita terpana tanpa daya. Hutan-hutan runtuh bukan karena usia, tetapi karena kapitalisme yang bekerja bagai mesin yang mematikan rantai ekologi. 

Sungai mengeruh, satwa menghilang, dan tanah retak seolah memberi tahu bahwa ada yang salah pada tata kelola kehidupan. Nestapa datang bukan sebagai kejutan, melainkan konsekuensi dari sistem yang menjadikan alam sekadar barang dagangan. 

Gelombang bencana yang melanda Sumatra beberapa pekan terakhir menunjukkan dengan telanjang betapa cacatnya relasi manusia dan alam ketika dikelola oleh logika kapitalisme. Longsor, banjir bandang, hingga luapan material vulkanik menerjang wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh. 

Diwartakan Kompas (11/11/2025), banjir bandang dan lahar dingin di Sumatra Barat menghantam permukiman, menewaskan warga, serta memutus akses jalan dan jembatan. 

Sementara itu, CNN Indonesia (12/11/2025) menampilkan visual kerusakan masif di Sumatra Utara, memperlihatkan bagaimana aliran air menghancurkan desa dalam hitungan jam. Semua ini terjadi beriringan, menunjukkan bahwa bukan sekadar hujan yang turun, tetapi daya tampung alam yang sudah jauh melemah.

Banjir bandang yang semakin brutal bukanlah sekadar akibat curah hujan yang mencapai puncaknya. Kerusakan itu tampak begitu parah karena wilayah yang dulunya kokoh kini kehilangan kemampuan menahan air. 

Hutan yang gundul, tanah yang hilang porinya, serta bukit-bukit yang tak lagi memiliki akar penjaga menjadi kombinasi sempurna bagi bencana. 

Ketika air datang, ia tidak menemukan satu pun penghalang alami yang diciptakan Allah sebagai penjaga ekosistem. Maka air meluncur tanpa kendali, membawa kayu, lumpur, batu, bahkan rumah manusia. 

Menurut ahli kebencanaan UGM, parahnya banjir bandang bukan hanya disebabkan hujan ekstrem, tetapi diperburuk oleh kerusakan daerah hulu dan deforestasi jangka panjang (ugm.ac.id, 3/12/2025). 

Musibah ini bukan “peristiwa alam biasa” ataupun “ujian semata” sebagaimana sering dijadikan dalih pengalihan isu. Ini adalah hasil dari proses panjang perusakan lingkungan yang dilegalkan oleh negara melalui kebijakan pro-korporasi. 

Konsesi lahan dibagi-bagikan seperti hadiah, izin sawit dibuka tanpa kendali, tambang terbuka meluas, dan bahkan beberapa ormas diberi izin tambang sebagai bagian dari politik balas budi. Belum lagi payung hukum seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang secara terang mendorong eksploitasi masif tanpa memperhitungkan resiko ekologis. 

Bencana yang terjadi hari ini adalah konsekuensi logis dari kejahatan lingkungan yang telah berlangsung puluhan tahun.

Semua ini nyaris mustahil terjadi tanpa dukungan sistemis dari negara yang berjalan dalam logika sekuler-demokrasi kapitalisme. Di sinilah akar masalahnya: penguasa dan pengusaha kerap saling menopang demi menjarah sumber daya alam atas nama “pembangunan”. 

Hutan bukan lagi dipandang amanah, tetapi modal. Alam bukan lagi titipan, tetapi komoditas. Negara bukan lagi pelindung rakyat, tetapi manajer proyek untuk kepentingan investor. Dari sinilah lahir penguasa zalim, bukan karena moral personal, tetapi karena sistem yang memang memproduksi karakter seperti itu.

Banjir dan longsor di Sumatra menjadi bukti nyata dari pembukaan hutan besar-besaran yang dilakukan tanpa kalkulasi ekologis. Saat kapitalisme menyentuh hutan, yang pertama hilang adalah keseimbangan alam. Yang kedua hilang adalah keselamatan manusia. Yang tersisa hanyalah grafik profit, sementara rakyat di hilir menjadi korban air bah, lumpur, dan reruntuhan.

Islam telah lama memperingatkan manusia tentang hubungan sebab-akibat ini. Allah berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41). 

Ayat ini bukan sekadar peringatan, tetapi analisis ekologis yang sangat jelas. Ketika manusia keluar dari hukum Allah, kerusakan akan muncul sebagai konsekuensi langsung. Karena itu, menjaga kelestarian lingkungan adalah bagian dari keimanan, bukan program pemerintah yang bersifat teknis.

Negara dalam sistem Islam memiliki kewajiban langsung dalam menjaga hutan dan tata ruang. Khalifah akan mengatur wilayah sesuai fungsi alaminya, membedakan area permukiman, hutan lindung, wilayah industri, dan lokasi tambang dengan cermat. Tidak ada konsesi seenaknya, tidak ada izin yang diberikan demi kepentingan politik. 

Negara juga bertanggung jawab mengeluarkan biaya bukan sekadar anggaran kecil simbolis untuk mitigasi, pemetaan risiko, dan pembangunan infrastruktur pencegah banjir. Semua itu dilakukan bukan untuk pencitraan, tetapi mandat syar’i menjaga manusia dari dharar.

Hanya Islam yang mampu menghentikan siklus kerusakan ekologis ini. Khalifah sebagai pemegang amanah akan mengutamakan keselamatan umat dan pelestarian lingkungan jauh di atas kepentingan kapital. 

Dengan tata ruang berbasis syariah, sistem kepemilikan yang jelas, serta larangan mengomersialisasi hutan yang merupakan milik umum, negara dapat meminimalisir bencana dan mengembalikan harmoni ekologi. Saat kapitalisme membunuh rantai kehidupan alam, Islam menjadi satu-satunya sistem yang mampu menghidupkan kembali keseimbangan bumi. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida, S.Hut.
(Aktivis Muslimah Banua) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar