Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Jangan Sibuk Merasa Dizalimi, Bisa Jadi Dirimu Memang Perlu Berbenah


Topswara.com -- Baik dan buruk itu hak prerogatif Allah. Dialah yang menetapkan standar kebenaran, bukan manusia, bukan opini publik, apalagi perasaan diri yang suka mencari pembenaran. 

Namun, kalau hampir seluruh manusia di sekeliling kita (keluarga, teman, tetangga, bahkan orang yang kita sayang) mulai menilai kita buruk, maka ada satu langkah yang lebih elegan daripada sibuk merasa dizalimi, yaitu ngaca (introspeksi diri).

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Dosa itu adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah, dan engkau tidak suka jika hal itu diketahui manusia.” (HR. Muslim).

Hadis ini seperti lampu sorot, jika perilaku kita membuat banyak orang resah atau tidak nyaman, besar kemungkinan ada yang tidak beres dalam diri kita. Orang mungkin tidak sempurna, tapi fitrah manusia bisa mengenali keburukan yang tampak jelas.

Ulama besar, Ibn Rajab al-Hanbali rahimahullah, mengatakan bahwa salah satu tanda keimanan adalah kemampuan seseorang membaca kekurangannya sendiri. Orang yang dekat dengan Allah tidak sibuk membangun tembok pembelaan diri, tapi ia sibuk memperbaiki diri. Karena siapa lagi yang bisa kita ubah selain diri sendiri?

Memang, tidak semua kritik manusia itu benar. Tapi jika banyak sekali suara yang sama, dari arah berbeda, isinya pun serupa, maka itu bukan konspirasi. Itu peringatan. Seperti kaca besar yang dipasang Allah lewat lisan manusia agar kita berhenti sejenak dan bertanya, “Apakah aku sudah melampaui batas?” “Apakah caraku berbicara menyakiti?” “Apakah sikapku egois, tapi tidak kusadari?”

Imam al-Ghazali berkata, “Orang berakal adalah yang mampu melihat aibnya sendiri. Jika tidak mampu, maka mintalah orang lain menunjukkan aibmu.”

Nah, kalau tanpa diminta pun orang sudah menunjukkan kesalahan kita, bahkan ramai-ramai, itu tandanya Allah sedang memudahkan kita memperbaiki diri. Sayangnya, sebagian orang memilih menutup telinga lalu berkata, “Aku dizalimi.” Padahal bukan dizalimi, tapi diingatkan.

Kita memang diajarkan husnuzan. Tetapi husnuzan bukan untuk membela ego. Husnuzan harusnya mengantar kita berkata, “Mungkin benar aku salah. Mungkin Allah sayang, maka Dia kirimkan teguran lewat manusia.”

Karena teguran yang datang dari dunia lebih ringan dibanding teguran dari akhirat. Allah berfirman, “Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri.” (QS. Asy-Syura: 30)

Ayat ini bukan untuk mematahkan semangat, tetapi untuk membuat kita sadar bahwa perubahan harus dimulai dari diri. Kita mungkin tidak bisa menghentikan orang untuk menilai, tapi kita bisa menghentikan diri kita dari perilaku yang membuat penilaian itu muncul.

Jika perilaku kita buruk, wajar manusia menjauh. Jika ucapan kita tajam, wajar manusia tersinggung. Jika kelakuan kita merugikan, wajar manusia tidak suka. Ini bukan zalim, ini realitas sosial yang diatur oleh sunnatullah.

Introspeksi itu indah. Bukan merendahkan diri, tapi mengangkat martabat. Ulama mengatakan bahwa muhasabah adalah jalan menuju ketenangan, karena orang yang sibuk memperbaiki diri tidak akan sempat merasa menjadi korban.

Tanda orang berjiwa besar adalah ketika kritik tak membuatnya defensif, tapi membuatnya tumbuh. Tanda orang dekat dengan Allah adalah ketika ia merasa takut jika banyak manusia tidak suka padanya, bukan karena ingin dipuji, tapi karena takut ada maksiat atau keburukan yang ia lakukan hingga Allah memperlihatkannya pada manusia.

Jadi, kalau hampir semua orang menilai kita buruk, jangan buru-buru menyalahkan semesta. Jangan buru-buru menangis sambil berkata, “aku terzalimi.”

Coba tanya diri perlahan, “mungkin, justru aku sedang disayangi Allah lewat teguran yang pahit ini?”

Karena seburuk-buruknya manusia, mereka tetap bisa melihat kelakuan buruk yang tampak nyata dan sebaik-baiknya manusia adalah yang tidak membiarkan dirinya berlarut dalam keburukan setelah diberi peringatan.

Introspeksi bukan kekalahan. Introspeksi adalah kemenangan jiwa dan kemenangan itu hanya dimiliki oleh mereka yang berani melihat dirinya apa adanya, lalu memperbaikinya demi ridha Allah semata.[]


Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar