Topswara.com -- Akhir-akhir ini viral di media sosial tentang bencana alam yang tengah terjadi di Indonesia. Mulai dari meletusnya gunung berapi, tanah longsor, puting beliung hingga banjir. Tak sedikit korban yang tertimpa musibah tersebut, mirisnya ternyata berita terkait bencana tersebut tidak menjadi berita nasional di televisi, malah kalah dengan berita tentang perselingkungkuhan influencer /artis ibukota.
Padahal di pulau Sumatra saja, bencana tanah longsor dan banjir tengah menghampiri sejumlah titik. Bencana tersebut juga menelan sejumlah korban, baik korban luka-luka maupun yang dinyatakan meninggal dunia.
Tercatat sampai tanggal 30 November 2025 korban banjir telah menelan banyak korban, diantaranya korban meninggal tercatat sebanyak 442 orang, sementara 402 orang dinyatakan hilang dan belum ditemukan. Korban tersebut akibat dari bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Aceh, (cna.id, 1/12/2025).
Korban yang belum ditemukan hingga saat ini disebabkan oleh sulitnya proses evakuasi yang dilakukan BNPB dan BPBD. Tim di lapangan menghadapi berbagai kendala, mulai dari cuaca ekstrem yang berubah-ubah, hujan deras yang membuat area pencarian semakin licin dan berbahaya, hingga medan yang sulit dijangkau.
Keterbatasan personel dan peralatan juga memperlambat operasi pencarian, sehingga upaya evakuasi tidak dapat dilakukan secara maksimal.
Serangkaian benca alam yang terjadi tersebut tidak dapat dilepaskan dari persoalan tata kelola ruang hidup dan lingkungan yang kurang tepat.
Bahkan viralnya video bencana alam di medsos yang menunjukkan banyaknya kayu gelondongan terbawa oleh aliran banjir bandang menunjukkan bahwa, kegiatan eksploitasi alam tengah terjadi di lokasi tersebut. Seperti halnya pembalakan liar dan alih fungsi lahan.
Tak heran jika banjir bandang dan tanah longsor terjadi, karena hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga alami untuk menyerap dan menahan air hujan melalui akar-akar pohonnya hilang dibabat dan digunduli.
Disisi lain, lambatnya penanganan dan kurang memadahinya peralatan juga menunjukkan bahwa sistem mitigasi bencana masih lemah dan belum koprehensif, baik pada tingkat individu, masyarakat maupun negara.
Selain itu, pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penanganan kebencanaan dinilai belum serius menyiapkan kebijakan preventif dan kuratif yang kuat, sehingga upaya mitigasi sering kali bersifat reaktif dan tidak mampu mengurangi risiko secara optimal.
Situasi ini memperlihatkan dengan jelas bahwa negeri ini menggunakan sistem kapitalisme, di mana hampir segala sesuatunya berorientasi pada keuntungan, bahkan kerap ditempatkan di atas kepentingan dan keselamatan rakyat.
Tak heran jika kayu gelondongan memenuhi aliran banjir, karena pemerintah dinilai kurang tegas dalam pemberian izin kepada korporasi besar dan kerap menggunakan narasi pembangunan yang justru mendorong eksploitasi sumber daya alam tanpa kendali.
Akibatnya, kerusakan lingkungan terus berlanjut, sementara rakyat harus menanggung dampak dari berbagai kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal daripada keselamatan masyarakat luas.
Berbeda dengan Islam, dalam Islam bencana dipahami melalui dua dimensi penting yakni ruhiyah dan siyasiyah. Dimensi ruhiyah menempatkan bencana sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah sekaligus pengingat bagi manusia agar kembali pada aturan-Nya.
Karena itu, edukasi ruhiyah menjadi bagian penting untuk memahamkan masyarakat tentang ayat-ayat dan hadis yang menjelaskan bahwa kerusakan alam kerap muncul akibat ulah manusia sendiri, dan bahwa merusak lingkungan merupakan perbuatan dosa yang membahayakan kehidupan.
Adapun dimensi siyasiyah berkaitan dengan bagaimana negara mengelola ruang hidup dan menjalankan mitigasi bencana. Dalam sistem Islam, negara wajib melakukan mitigasi bencana secara serius, sistematis, dan komprehensif demi menjaga keselamatan jiwa rakyatnya.
Ketika bencana terjadi, pemerintah bertanggung jawab penuh untuk memberikan bantuan yang layak, pelayanan yang manusiawi, serta pendampingan berkelanjutan hingga para penyintas mampu kembali menjalani kehidupan normal pascabencana.
Pemimpin dalam Islam juga bertanggung jawab penuh dalam pengambilan kebijakan. Hal ini karena kaitannya dengan nyawa manusia dan pertanggung jawabannya kepada Allah kelak di akhirat. Sehingga kebijakannya haruslah sejalan dengan aturan Islam.
Begitu juga dengan sistem sanksi yang diberlakukan, pastilah adil, tegas dan memberikan efek jera. Sanksi dalam Islam diterapkan bukan untuk menghukum, tetapi untuk menjaga kemaslahatan, melindungi masyarakat, dan mencegah terulangnya pelanggaran yang dapat membahayakan kehidupan.
Dari sini terlihat jelas bahwa Islam benar-benar merupakan agama rahmatan lil ‘alamin yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Waalahu’alam bishawab.
Oleh: Deny Rahma
Komunitas Setajam Pena

0 Komentar