Topswara.com -- Gelombang bencana yang melanda Sumatra dari banjir bandang, longsor, hingga hilangnya ribuan rumah kembali mengetuk kesadaran publik tentang betapa rapuhnya hubungan manusia dan alam.
Dari Sumatra Barat, Sumatra Utara, hingga Aceh, curah hujan memang tinggi. Namun semua pihak sepakat: kerusakan yang terjadi bukan sekadar “takdir alam”. Ada faktor buatan manusia yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya.
Permukaan tanah yang tidak lagi mampu menahan air, hutan yang digunduli, lereng yang ditambang secara brutal, hingga alih fungsi lahan yang tak terkendali adalah potret nyata bahwa bencana kali ini merupakan akumulasi kejahatan lingkungan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Dan semua itu dilegitimasi oleh kebijakan negara yang berpihak pada kepentingan pemodal.
Kapitalisme Menjadikan Kekuasaan sebagai Komoditas
Kita menyaksikan bagaimana izin konsesi hutan dibagi-bagikan kepada perusahaan besar; perkebunan sawit diekspansi tanpa batas; izin tambang terbuka dikeluarkan bahkan untuk ormas tertentu; regulasi seperti UU Minerba dan UU Ciptaker memuluskan eksploitasi alam atas nama investasi.
Siklusnya selalu sama: penguasa memberi karpet merah; korporasi menambang keuntungan; rakyat menerima bencana.
Dalam sistem demokrasi sekuler-kapitalistik, relasi antara penguasa dan pengusaha nyaris selalu berbentuk kongkalikong. Kekuasaan dijadikan komoditas politik untuk mengamankan kepentingan ekonomi para pemilik modal. Sementara itu, masyarakat hanya diposisikan sebagai penonton yang harus menerima akibatnya.
Padahal Rasulullah ﷺ mengingatkan:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Pemimpin adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Bagaimana mungkin kesejahteraan rakyat dapat terwujud jika negara justru memfasilitasi kerusakan lingkungan yang merampas kehidupan rakyat itu sendiri?
Kerusakan Lingkungan Bukti Kelalaian Negara terhadap Hukum Allah
Allah telah menegaskan bahwa kerusakan di alam bukan terjadi secara acak, tetapi akibat ulah manusia:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia...” (QS. Ar-Rum: 41).
Ayat ini bukan hanya peringatan spiritual, tetapi panduan politik-ekologis. Islam memandang bahwa menjaga lingkungan adalah bagian integral dari amanah keimanan.
Maka ketika negara mengabaikan hukum Allah dan menggantinya dengan aturan kapitalisme, dampaknya sangat nyata: ekologi rusak, bencana bermunculan, rakyat menderita, sementara elite penguasa dan pengusaha menikmati keuntungan.
Pembukaan hutan besar-besaran tanpa perhitungan daya dukung lingkungan telah menghilangkan fungsi-fungsi ekologis penting: penahan air, penyangga tanah, penyerap karbon, penyimpan keanekaragaman hayati.
Maka tidak heran ketika hujan turun, ia tidak lagi diserap bumi, melainkan langsung berubah menjadi banjir bandang dan longsor yang merenggut ratusan nyawa dan menenggelamkan desa.
Bagaimana Islam Mengelola Alam dan Mencegah Bencana
Dalam sistem Islam (khilafah), pemimpin tidak berhak mengobral sumber daya alam kepada korporasi. Semua kekayaan alam yang menjadi kebutuhan vital publik seperti hutan, air, tambang besar ditetapkan sebagai milik umum.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلاثٍ: فِي الْمَاءِ، وَالْكَلَإِ، وَالنَّارِ»
“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi).” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menjadi basis bahwa hutan, air, dan energi tidak boleh diprivatisasi. Negara wajib mengelolanya langsung demi kemaslahatan rakyat, bukan untuk segelintir pemilik modal.
Dalam perspektif politik Islam, Negara wajib menjaga keseimbangan ekologis, Hutan diatur berdasarkan fungsi alaminya misalnya konservasi, penyangga pemukiman, resapan air, dan cadangan ekologi.
Tidak ada ruang untuk pembabatan liar karena orientasinya bukan profit, tetapi kemaslahatan publik.
Kemudian khalifah wajib menyiapkan sistem mitigasi bencana secara ilmiah, Negara menampung pendapat ahli lingkungan, geolog, hidrolog, dan perencana tata ruang. Islam tidak anti-sains. Justru Islam mewajibkan negara memanfaatkan ilmu untuk mencegah mudarat.
Lalu Negara menyiapkan anggaran penuh untuk pencegahan dan penanggulangan. Dalam Islam, anggaran untuk menjaga nyawa rakyat adalah prioritas. Dana Baitul Mal digunakan untuk : memperbaiki tata ruang, membangun terasering hutan, memperkuat tebing rawan longsor, membuat kanal air, hingga relokasi aman bagi warga.
Serta khalifah fokus pada keselamatan rakyat, bukan pada pertumbuhan ekonomi ala kapitalisme. Khalifah bertindak sebagai ra’in (pengurus), bukan CEO negara. Setiap kebijakan bertujuan menghilangkan bahaya (izalat adh-dharar), sebagaimana kaidah fikih:
“Adh-dhararu yuzâl” bahaya harus dihilangkan.
Blue Print Tata Ruang dalam Sistem Islam
Dalam politik tata ruang Islam, seluruh wilayah dipetakan menurut karakter alamnya. Ada zona: pemukiman, pertanian, industri, cadangan air, himmah (kawasan yang dilindungi ketat), hingga wilayah hutan yang tidak boleh ditouch sedikit pun.
Dengan model tata ruang yang komprehensif seperti ini, bencana dapat diminimalisir bahkan dicegah sejak awal.
Saatnya Kembali pada Hukum Allah
Bencana Sumatra adalah alarm keras bahwa sistem demokrasi kapitalisme telah gagal menjaga alam dan rakyat. Ia memberi ruang sangat besar bagi perusakan lingkungan yang dilegitimasi oleh aturan negara.
Selama paradigma pembangunan masih berbasis eksploitasi, bencana seperti ini akan terus berulang. Islam menawarkan sistem yang bukan hanya berorientasi pada kemaslahatan rakyat, tetapi juga menjaga harmonisasi manusia dengan alam sebagai amanah dari Allah.
Kembalinya negara kepada hukum Allah adalah satu-satunya solusi yang tepat. Hanya dengan penerapan syariat secara kaffah, manusia dapat membangun negeri yang aman, makmur, dan lestari.
Sebab pada akhirnya, hukum Allah-lah yang paling mampu melindungi manusia dan alam dari kerusakan yang lebih dahsyat.
Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan

0 Komentar