Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bencana Aceh Sumatra dan Utang Ekologis Para Oligarki


Topswara.com -- Duka lara kini sedang menyelimuti Indonesia. Bencana hidrometeorologi berupa banjir bandang hingga longsor menerjang wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November lalu. 

Dilansir dari kompas.com, sebanyak 753 jiwa dinyatakan meninggal,650 jiwa masih dalam pencarian, dan korban luka-luka yang menembus 2.600 jiwa dengan kondisi rumah yang rusak berat mencapai 3.600 rumah. (Kompas.com, 3/12/2025)

Ditengah bencana yang begitu dahsyat serta proses evakuasi korban yang pelik dengan medan dan cuaca ekstrem, banyak masyarakat yang masih terjebak di area yang terdampak banjir belum mendapat pertolongan karena akses bantuan dan penanganan pusat yang lambat. 

Rakyat yang sedang berduka terpaksa harus mendengar pernyataan pemerintah pusat yang menyakitkan. Bagaimana tidak, sejak bencana terjadi, pemerintah pusat menyatakan bencana Aceh dan Sumatera ini tidak ditetapkan status bencana nasional. (Kompas.tv, 1/12/2025)

Pernyataan ini jelas bertentangan dengan fakta bagaimana parahnya bencana yang menerjang Aceh dan Sumatera dengan kondisi korban yang berjatuhan meninggal dan hilang serta ribuan rumah rusak diterjang air dan material berat lainnya yang turun dari pegunungan berupa gelondongan potongan-potongan kayu dengan jumlah fantastis. 

Pemerintah hanya bisa berkelit, material kayu yang terbawa arus banjir hanya tumpukan kayu lapuk yang sudah lama. 

Sikap dan kebijakan pemerintah pusat semakin menunjukkan wajah asli mereka. Hastag warga jaga warga pun memadati media sosial seiring tingkat kepercayaan publik yang terus menurun pada pemerintah, karena sikap mereka yang abai pada bencana ini. 

Kebijakan pemerintah yang lebih memilih tidak menetapkan status bencana nasional pada bencana Aceh dan Sumatera semakin membuka mata dan hati rakyat. Rakyat sudah muak dengan narasi bencana yang terjadi adalah bagian dari takdir. 

Ribuan gelondongan kayu yang memadati pemukiman warga menjadi saksi bisu menunjukkan hutan telah dirusak secara massif, dan alam menunjukkan kemarahannya atas tangan-tangan manusia yang tidak bertanggungjawab.

Hutan yang mestinya jadi rumah bagi seluruh mahluk hidup, dirusak secara sistematis melalui longgarnya perizinan hukum untuk mengelola hutan. Logika rakyat tidak bisa lagi dibohongi dengan dalih takdir dan ucapan belasungkawa semata dari pemerintah yang sejatinya memang abai pada rakyat. 

Jika ditelisik lebih dalam, kayu gelondongan itu tidak mungkin bergerak begitu saja jika tidak penyebabnya. Penyebabnya jelas, penebangan pohon secara liar dan massif tanpa memikirkan efek jangka panjang. 

Penebangan pohon ini tentu tidak akan dilakukan oleh warga lokal yang hidup begitu lama berdampingan dengan ekosistem hutan, dengan kebutuhan yang terbatas. Penebangan secara massif ini dilakukan oleh oligarki dengan naungan korporasi yang besar. 

Hal ini terbukti dengan adanya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alama (IUPHHK-HA) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang menjadi payung hukum bagi korporasi untuk mngelola hutan. 

Payung hukum bagi korporasi yang dikuasai oleh para oligarki menjadi akar mula berbagai bencana terjadi, termasuk apa yang terjadi di Aceh dan Sumatera saat ini. Dan semua ini berawal dari sistem kapitalisme yang mengedepankan kepentingan pemilik modal dengan asas manfaat sebagai pijakannya. 

Apa yang dilakukan para oligarki dengan perlindungan hukum dari negara adalah utang ekologis yang harus dibayar oleh rakyat yang tidak berdosa. 

Para oligarki yang telah merusak dataran tinggi dengan menggunduli hutan, menghilangkan rumah ekosistem bagi hewan dan mahluk hidup lainnya, hingga membuat hutan kehilangan kemampuan untuk menyerap air hujan, dan pada akhirnya hujan melaju mengaliri dataran rendah. 

Yang lebih menyakitkan adalah rakyat yang menderita, dan harus membayar mahal dengan kehilangan rumah, harta hingga nyawa yang diakibatkan ulah para oligarki yang dilindungi oleh regulasi pemerintah. 

Sungguh luka rakyat ini tidak bisa diobati kecuali dengan mengganti sistem secara menyeluruh. Kerusakan yang terjadi saat ini dilindungi secara sistemis oleh sistem kapitalisme melalui tangan-tangan elit kapitalis dan oligarki yang kuat modal sebagai pengendalinya. Hanya sistem Islam kaffah yang bisa mengembalikan tatanan kehidupan pada tempatnya. 

Islam memiliki prinsip pengelolaan kepemilikian umum yang hanya boleh diatur oleh negara untuk kepentingan rakyat. Islam juga menempatkan alam sebagai bagian dari mahluk ciptaan Allah yang harus dijaga eksistensinya, bukan dipandang sebagai material yang mendatangkan keuntungan, sehingga penjagaannya sangat diprioritaskan. 

Jangankan dalam kondisi stabil, dalam kondisi perang saja, Islam memerintahkan para pasukan yang berjihad untuk menjaga tanaman dengan tidak menebangnya sembarangan. Apalagi, jika Islam diterapkan secara paripurna menjadi sistem hidup dan peradaban, maka gambaran kerusakan saat ini tidak akan pernah terjadi.


Oleh: Sheila Nurazizah 
Aktivis Muslimah 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar