Topswara.com -- Banua hari ini seperti berdiri di antara dua dunia. Di satu sisi, wajah religius terus dipoles lewat festival, expo, dan agenda seremonial yang meriah. Namun di sisi lain, ada tuntutan yang jauh lebih dalam: menjadikan Islam bukan sekadar label acara, tetapi pondasi peradaban.
Maka muncul pertanyaan besar apakah wisata Islami di Kalimantan Selatan hanya strategi branding, atau benar-benar langkah menuju konstruksi ideologis yang berakar?
Pertanyaan ini relevan terutama setelah Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan kembali menggelar South Kalimantan Tourism Islamic Fair 2025, berlangsung 20–22 November 2025 di Siring Nol Kilometer Banjarmasin.
Acara ini menampilkan pameran UMKM halal, pertunjukan seni Islami, hingga expo wisata ramah muslim (RRI Banjarmasin (21/11/2025). Sementara itu ANTARA (21/11/2025) mewartakan bahwa Kalsel memang tengah mengokohkan diri sebagai destinasi religi nasional.
Secara faktual, ini mencerminkan adanya energi politik untuk membangun identitas religius Banua sebagai kekuatan naratif.
Sesungguhnya membangun narasi tidak sama dengan membangun sistem. Selama pariwisata beroperasi dalam kerangka sekular-kapitalistik yang hanya menempelkan simbol Islam pada ruang publik tanpa menjadikannya pedoman regulasi maka wisata Islami akan lebih banyak menjadi komoditas.
Islam tampil di panggung depan sebagai dekorasi, tetapi di balik layar arah kebijakan tetap dipandu logika pasar. Dari sanalah paradoks lahir: situs ulama dipromosikan, tetapi minim pelestarian.
Festival bernuansa Islami digelar, tetapi ruang publik tetap dikelola dengan orientasi komersial. Label “halal” dipakai, tetapi nilai adab, tadabbur, dan akidah sering hilang di tengah keramaian. Inilah perbedaan yang tegas antara branding religi dan jalan peradaban.
Wisata dalam Islam: Rihlah yang Mendidik Iman
Dalam perspektif Islam, wisata bukan sekadar hiburan visual atau pelarian dari rutinitas. Ia adalah rihlah, perjalanan yang membawa manusia pada penguatan iman, perluasan nalar, dan pemahaman sejarah. Al-Qur’an berulang kali memerintahkan manusia untuk berjalan di muka bumi, menyaksikan jejak umat terdahulu, dan mengambil pelajaran darinya.
Allah berfirman, “Katakanlah: Berjalanlah di bumi, lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang sebelum kalian" (QS. Ar-Rum: 42).
Ayat ini menegaskan bahwa wisata dalam Islam bukan sekadar agenda rekreatif, tetapi sarana refleksi sebuah perjalanan intelektual dan spiritual. Melalui rihlah, manusia diajak memperhatikan ciptaan Allah, membuka kedalaman berpikir, menadabburi sejarah, menguatkan iman, hingga memetik ibrah dari kehancuran umat terdahulu.
Karena itu, dalam Islam negara tidak hanya menjadi penyelenggara acara, tetapi penjaga makna. Negara memastikan setiap perjalanan tidak berubah menjadi ruang maksiat, tidak merusak lingkungan, tidak meminggirkan warisan ulama, dan tidak tunduk pada logika komersialisasi.
Seluruh tata kelola wisata diarahkan agar selaras dengan maqashid al-syariah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan begitu, wisata tidak lagi menjadi industri belaka, melainkan bagian dari arsitektur peradaban.
Khilafah dan Tradisi Mengelola Wisata
Sejarah peradaban Islam memberi teladan nyata. Di masa Umar bin Khattab RA, negara membangun jalan-jalan besar bukan untuk kepentingan pasar, tetapi untuk memudahkan perjalanan dakwah, perdagangan yang halal, ziarah, dan pencarian ilmu.
Pada masa Abbasiyah, khususnya di era Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun, negara menyediakan rumah singgah, penginapan gratis, taman kota, perpustakaan, dan pusat studi bagi para musafir semua dikelola negara, bukan korporasi.
Di Andalusia, masjid Cordoba, perpustakaan megah, dan taman-taman umum dirawat bukan sebagai objek wisata komersial, tetapi sebagai destinasi ilmu dan simbol kejayaan Islam.
Pada masa Utsmani, Hagia Sophia, Topkapi, galeri manuskrip, dan madrasah dikelola sebagai pusat pengetahuan yang terbuka untuk para pelajar dari berbagai wilayah. Polanya sama: wisata menjadi medium dakwah, ilmu, dan peradaban.
Kini Banua berdiri di persimpangan serupa. Kita harus memilih: menjadikan wisata Islami sebagai wajah, atau menjadikan Islam sebagai fondasi wisata. Bila hanya memilih wajah, festival akan tetap meriah, tetapi substansi tidak berubah.
Namun bila memilih Islam sebagai fondasi, maka seluruh tata kelola dari kurikulum pemandu wisata, regulasi destinasi, manajemen situs ulama, hingga arah ekonomi lokal harus kembali pada nilai syariah.
South Kalimantan Tourism Islamic Fair 2025 memang langkah baik. Tetapi sejarah mengingatkan, peradaban tidak dibangun oleh festival, melainkan oleh nilai yang menjelma menjadi sistem.
Bila kita ingin wisata yang benar-benar memuliakan manusia dan alam, memperkuat iman, menjaga warisan ulama, dan menghidupkan adab, maka jalan peradaban Islam adalah opsi yang paling logis dan paling lengkap.
Pertama, karena hanya Islam yang menyatukan nilai, regulasi, dan tujuan hidup dalam satu bangunan sistem yang koheren. Kedua, karena model peradaban Islam telah terbukti melahirkan tata kelola wisata, pendidikan, dan ruang publik yang tidak sekadar indah, tetapi juga bermakna. []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)

0 Komentar