Topswara.com -- Angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia terus menunjukkan angka kenaikan setiap tahunnya. Data yang dipaparkan oleh Goodstats menunjukkan per 4 September 2025 KDRT tembus angka 10.240 kasus. 
Bahkan setiap bulannya stabil di angka 1000 lebih kasus setiap bulannya. Di bulan Juli 2025 contohnya, tercatat 1.395 kasus baru. Fakta ini menunjukkan bahwa kasus KDRT tidak hanya meningkat tahunan, tetapi dalam skala bulanan pun cukup besar. 
Bahkan di wilayah tertentu peningkatan kasus sangat tajam. Sebagai contoh di Papua Barat, kasus KDRT yang ditangani meningkat sebesar 95 persen dari tahun 2022 ke 2023 (dari 61 kasus ke 119 kasus) menurut data kepolisian daerah setempat. 
Ini menunjukkan bahwa meskipun secara nasional angkanya besar, secara daerah angka bisa sangat melonjak dan menunjukkan gejala serius.
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), mayoritas kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan terjadi di ranah rumah tangga: 74 persen dari seluruh kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkungan rumah tangga. 
Pelaku utama: 54 persen adalah suami, kemudian 13 persen mantan pacar, guru, saudara, dan lainnya. Karena tren yang meningkat, KemenPPPA menginisiasi revisi Undang‑Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga agar lebih “powerful”. 
Fakta ini menunjukkan bahwa KDRT bukan fenomena kecil, melainkan sistemis dan terjadi dalam ranah keluarga/rumah tangga, serta dianggap meningkat secara signifikan hingga memicu tindak lanjut kebijakan. 
Data ini baru yang terlapor. Sebab, di lapangan menunjukkan banyak korban yang tidak berani melapor atas tindak kekerasan yang dialaminya.
Sistem Sekuler Melahirkan Kerapuhan Keluarga
Sejumlah fakta di atas pada umumnya muncul akibat faktor ekonomi dan beban rumah tangga akibat tuntutan hidup yang diukur secara materialistik. Keadaan ini semakin diperburuk dengan minimnya pemahaman agama sebagai pondasi moral. 
Selain itu, ada juga aspek psikologis, budaya, dan relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Keretakan dalam rumah tangga, seperti pertengkaran terus-menerus antara orang tua, perceraian, atau kurangnya komunikasi yang sehat, dapat memberikan dampak psikologis yang serius terhadap anak-anak, khususnya remaja. 
Dalam situasi seperti ini, remaja sering kali merasa terabaikan, kehilangan rasa aman, dan tidak mendapatkan dukungan emosional yang mereka butuhkan dalam masa perkembangan yang krusial. 
Akibatnya, mereka cenderung melampiaskan emosi negatif seperti marah, kecewa, dan frustrasi melalui perilaku agresif atau kekerasan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. 
Semua ini akibat dari sistem kapitalisme sekuler yang asasnya tidak berfokus pada membangun ketahanan keluarga sebagai bagian sebuah peradaban.
Setidaknya ada empat simpul sekularisme penyebab asas yang rapuh. Pertama, sekularisme menyingkirkan nilai agama dari kehidupan, membuat keluarga kehilangan landasan taqwa dan tanggung jawab moral.
Kedua, pendidikan sekuler liberal menumbuhkan kebebasan tanpa batas dan sikap individualistik yang merusak keharmonisan dalam rumah tangga yang tentu membawa dampak negatif perilaku remaja.
Ketiga, materialisme menjadikan kebahagiaan bersifat duniawi, sehingga tekanan hidup mudah memicu ketidakstabilan emosi sehingga membawa pada keretakan dan kekerasan.
Keempat, negara yang masih abai, meski telah ada UU PKDRT no. 23 tahun 2004, terbukti tidak menyentuh akar masalah. UU hanya menindak secara hukum bagi pelaku yang itu merupakan sebuah akibat, tanpa mengubah sistem yang rusak sebagai penyebab utamanya. 
Islam Tatanan Kehidupan Ideal
Menjawab persoalan kekerasan yang semakin hari justru semakin tinggi, dan dapat mengancam mental generasi di masa mendatang, maka paradigma Islam harus menjadi pilihan sebagai konstruksinya. 
Pertama, pendidikan Islam membentuk kepribadian bertakwa dan berakhlak mulia. Bukan sekedar orientasi pada duniawi semata, yang itu dibangun di lingkungan keluarga,  dan didukung negara.  
Kedua, syariat Islam dalam membangun keluarga, menitikberatkan kekokohan keluarga, menata peran suami istri, yang akan dapat mencegah munculnya KDRT sejak awal membangun rumah tangga.
Ketiga, peran negara sebagai pelindung (raa'in), yang menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakatnya, sehingga keluarga tidak mengalami masalah tekanan ekonomi. 
Keluarga dapat menjalani kehidupan dengan tenang dan bahagia, menghadirkan suasana kondusif bagi tumbuh kembang baik fisik dan psikologis anak-anak dan remaja.
Keempat, sistem sanksi dalam Islam ditegakkan  untuk membuat jera para pelaku sekaligus mendidik masyarakat agar hidup sesuai syariat Islam. Tegaknya syariat Islam akan membawa kepada kebaikan, keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat kelak, karena bersumber dari pencipta manusia, Allah SWT. []
Oleh: Noor Jannatun Ratnawati, S.Kom.I.
(Aktivis Muslimah di Bantul, DIY)

0 Komentar