Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Judol dan Pinjol: Perangkap Sistemis Kapitalisme atas Generasi Muda


Topswara.com -- Kalau dulu anak muda diburu soal nilai rapor dan ranking kelas, hari ini yang memburu mereka bukan guru BK, melainkan algoritma dan algoritma ini bukan sekadar pintar, tapi licik. Ia hafal kebiasaan, kegelisahan, bahkan isi dompet penggunanya. Target favoritnya jelas, yaitu generasi muda dengan ekonomi terbatas.

Baru scrolling sebentar, iklan pun muncul, “Main sebentar, cuan instan.” Atau, “Pinjam sekarang, bayarnya nanti.” Nanti entah kapan, yang penting sekarang senang dulu. Inilah wajah baru jebakan kapitalisme, judol dan pinjol tampil seperti solusi, padahal sejatinya jerat.

Data berbicara tanpa perlu teriak. 58 persen Gen Z menggunakan pinjol untuk gaya hidup dan hiburan, bukan untuk pendidikan atau modal usaha. Rekening pinjaman usia muda melonjak, kata OJK. Anak muda belum mapan, tetapi sudah akrab dengan bunga, denda, dan stres berkepanjangan. Ironis, namun sangat sistemis. 

Masalahnya bukan sekadar “anak mudanya lemah iman” atau “kurang literasi finansial”. Itu terlalu dangkal. Himpitan ekonomi dalam sistem kapitalisme mendorong generasi mencari jalan pintas. Ketika kerja susah, upah rendah, dan harga hidup mahal, spekulasi tampak seperti pintu darurat. Judol menjadi ilusi keberuntungan, pinjol jadi doping kebahagiaan semu.

Lebih parah, negara gagal melindungi generasi. Pendidikan sekuler sibuk mencetak tenaga kerja, bukan membentuk kepribadian. Ukuran sukses dipersempit menjadi materi, popularitas, dan validasi digital. Ketika generasi terjerat, negara baru hadir memberi imbauan “jangan judol, jangan pinjol”, bukan perlindungan nyata sejak hulu.

Ruang digital pun tak kalah bengis. Platform kapitalistik tidak dirancang untuk menjaga akal dan jiwa, melainkan trafik dan keuntungan. Algoritma bekerja bukan berdasarkan halal-haram atau maslahat-mafsadat, tapi kebiasaan dan potensi cuan. Semakin lama pengguna terjebak, semakin untung platform. Keselamatan generasi? Nomor sekian.

Islam menawarkan solusi yang tidak tambal sulam. Dalam sistem ekonomi Islam, negara wajib menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu, bukan sekadar angka pertumbuhan. Pemuda tidak dipaksa “kreatif dalam kemiskinan”, tetapi dijamin kebutuhan dasarnya agar tidak terdorong pada keharaman.

Namun jaminan ekonomi saja tidak cukup tanpa keimanan kepada Allah. Iman adalah benteng paling awal dan paling kuat. Ia melahirkan kesadaran bahwa rezeki tidak datang dari judi dan riba, melainkan dari Allah. Orang beriman tahu, keuntungan haram mungkin cepat, tetapi kehancurannya lebih pasti.

Pendidikan Islam membentuk kepribadian Islam. Generasi tidak lagi bertanya, “Untung atau tidak?”, melainkan, “Halal atau haram?” Standar ini jauh lebih kokoh daripada sekadar literasi finansial.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa kerusakan perilaku individu merupakan konsekuensi logis dari rusaknya sistem kehidupan. Selama kapitalisme diterapkan, eksploitasi manusia atas manusia akan terus berlangsung, termasuk eksploitasi generasi muda melalui ekonomi ribawi dan perjudian terselubung.

Dalam khilafah, infrastruktur digital dibangun di atas paradigma Islam. Negara menutup pintu konten merusak, memutus normalisasi maksiat, dan tidak membiarkan platform beroperasi demi profit semata. Teknologi diarahkan sebagai penjaga iman dan peradaban.

Maka tugas generasi Muslim hari ini bukan sekadar menghindari judol dan pinjol. Yang lebih mendasar adalah menguatkan iman kepada Allah, memahami identitas sebagai Muslim, dan menyiapkan diri sebagai pembangun peradaban. Ketika iman dan Islam dijadikan standar, generasi bukan lagi target pasar, melainkan pelopor perubahan. []


Oleh: Nabila Zidane 
(Jurnalis)
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar