Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Analis Sistemis Krisis Ekologis Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif Islam


Topswara.com -- Peristiwa banjir bandang dan longsor masif yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat baru-baru ini bukan semata fenomena meteorologis biasa, melainkan sebuah krisis ekologis yang terencana. 

Pemicu awalnya memang faktor alam yang tak terhindarkan, yakni curah hujan ekstrem antara 150 hingga 300 mm per hari, diperkuat oleh anomali atmosfer seperti Siklon Tropis Senyar (Detikcom, 3/12/2025). 

Namun, eskalasi bencana menjadi mematikan dan destruktif terjadi karena degradasi fungsi hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). 

Aktivitas pembalakan liar (illegal logging) dan penambangan ilegal telah meniadakan kemampuan hutan untuk menyerap air hujan, menyebabkan limpasan permukaan bergerak cepat ke hilir, seringkali membawa serta kayu gelondongan sebagai bukti visual dari kerusakan hutan (Kompas.com, 4/12/2025).

Dalam pandangan Islam, musibah banjir bandang di Sumatera yang diperburuk oleh deforestasi ini dipahami sebagai konsekuensi langsung (fasad) dari ulah manusia, dan bukan hanya takdir yang berdiri sendiri. 

Al-Qur'an secara eksplisit menyatakan: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41). 

Ayat ini berfungsi sebagai teguran keras agar manusia segera menarik diri dari tindakan destruktif. 

Manusia sesungguhnya diamanahkan sebagai khalifah untuk memelihara bumi (QS. Al-Baqarah: 30), sementara tindakan penebangan liar secara gamblang melanggar larangan keras untuk menciptakan kerusakan setelah adanya perbaikan (QS. Al-A'raf: 56) dan menghancurkan mizan (keseimbangan) kosmik yang telah Allah tetapkan (QS. Ar-Rahman: 7-8). 

Melalui Sunnah, Rasulullah ï·º bahkan menganjurkan penanaman pohon sebagai amal saleh, menandakan bahwa perusakan ekosistem adalah perbuatan yang sangat dikecam dan menuntut adanya pertobatan (islah) serta penegakan hukum yang adil.

Eskalasi bencana yang berulang ini secara lugas menunjukkan bahwa krisis ini telah melampaui isu lingkungan biasa, berakar pada kegagalan sistemik dalam tata kelola negara. 

Banjir berskala masif adalah manifestasi fisik dari "kerusakan di darat" yang disebabkan oleh eksploitasi dan buruknya manajemen lingkungan, menjadikannya panggilan untuk "kembali (ke jalan yang benar)" sebagaimana ditekankan QS. Ar-Rum: 41. 

Ironisnya, kegagalan ini terjadi di tengah keberadaan regulasi perlindungan lingkungan yang cukup, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). 

Namun, regulasi ini seringkali dilemahkan, tidak diindahkan, atau bahkan digunakan sebagai alat legitimasi perusakan, terutama dalam praktik pembalakan liar yang terorganisir. 

Kejahatan ini, yang melibatkan korporasi dan oknum pejabat, menciptakan lingkaran kejahatan yang oleh banyak pihak dicap sebagai kejahatan yang sudah diatur secara sistematis (systematically set crime).

Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Kehutanan (TPK) dan Pencucian Uang (TPPU) hasil kejahatan lingkungan harus menjadi prioritas absolut. 

Fakta menunjukkan adanya upaya penindakan oleh Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan Kementerian LHK dan Satgas PKH Kejaksaan Agung, termasuk pengamanan tersangka pengangkut kayu ulin ilegal (Gakkum Kehutanan, 27 November 2025) dan pengungkapan kasus korupsi di perusahaan BUMN sektor kehutanan (Mongabay, 23 Agustus 2025).

Sayangnya, penindakan tersebut belum dianggap memberikan efek jera yang optimal bagi korporasi besar. Hal ini diperparah oleh kerangka hukum yang oleh sebagian kalangan dikritik karena memfasilitasi aktivitas industri yang berpotensi merusak alam. 

Contohnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 (PP PPLH), turunan dari UU Cipta Kerja, yang mengubah Izin Lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan dalam skema Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. 

Kritikus khawatir perubahan ini menyederhanakan proses perizinan dengan mengorbankan kualitas perlindungan lingkungan (Peraturan BPK, PP No. 22 Tahun 2021). 

Peraturan Menteri LHK Nomor 3 Tahun 2021 juga mengubah fokus dari mekanisme perizinan ketat menjadi kemudahan berusaha, menciptakan celah bagi korporasi untuk beroperasi di wilayah sensitif (Dinas Lingkungan Hidup Jembrana, Produk Hukum Lingkungan Hidup).

Fenomena ini adalah cerminan kegagalan manusia dalam menjalankan mandatnya sebagai penjaga ekosistem, di mana kebijakan negara tak berdaya melawan tirani keuntungan sesaat. 

Kebutuhan mendesak untuk merevisi regulasi yang destruktif membutuhkan keberanian politik yang didorong oleh kombinasi langka: pemimpin yang menjunjung tinggi ketakwaan dan kecakapan, serta kerangka hidup kolektif yang mendukung konservasi, bukan eksploitasi. 

Orientasi kapitalistik yang memuja laba jelas berdirikontradiktif dengan upaya penyelamatan alam, terbukti dari deforestasi sawit, penambangan yang merusak, hingga penjualan pasir laut.

Solusi mendalam harus berpijak pada fondasi spiritual, di mana Islam menawarkan kerangka kerja regulasi yang menempatkan konservasi sebagai prioritas. 

Dasar utama adalah larangan mutlak menimbulkan kerusakan, sebuah prinsip yang wajib mendominasi setiap kalkulasi ekonomi. Dalam tataran politik ekonomi, Islam mengimplementasikan mekanisme kepemilikan yang melindungi sumber daya dari kerakusan. 

Sumber daya vital seperti hutan, air, dan deposit mineral strategis digolongkan sebagai kepemilikan kolektif (milkiyyah ‘ammah). Dalil dari Nabi Muhammad SAW bahwa "Seluruh umat Islam berbagi hak atas air, padang rumput, dan sumber energi," (H.R. Abu Dawud dan Ahmad, makna yang disarikan).

Menegaskan bahwa aset ini tidak boleh dimonopoli swasta untuk keuntungan pribadi. Pemerintahan wajib mengelolanya demi kemaslahatan umum, menempatkan prinsip kelestarian sebagai tolok ukur utama.

Lebih lanjut, untuk melindungi zona kritis, negara harus memberlakukan konsep Hima (Zona Konservasi Ekologis) kawasan yang dilindungi dari intervensi berlebihan, meniru praktik perlindungan lingkungan di masa kenabian. 

Penerapan Hima ini mutlak diperlukan di kawasan hutan lindung dan resapan air. Keuntungan dari SDA yang dikelola wajib dialirkan kembali ke Kas Publik (Baitul Maal), didedikasikan untuk kebutuhan rakyat dan pembiayaan konservasi. 

Tindakan merusak harus dikenai sanksi hukum (Ta’zir) yang bertujuan ganda: menimbulkan efek jera dan mewajibkan restorasi lingkungan secara total. Solusi Islam menuntut revolusi sistemik yang menghapus ideologi laba dari tata kelola SDA, dan revolusi mentalitas yang menanamkan kesadaran bahwa menjaga alam adalah inti dari ketaatan. 

Hanya dengan reorientasi total ini, kita dapat mengakhiri siklus bencana yang selama ini dipicu oleh keserakahan.


Oleh: Siti Nurhaliza, M.Pd.
Aliansi Penulis Rindu Islam 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar