Topswara.com -- Hari ini, generasi muda hidup di tengah arus informasi digital yang deras banget. Scroll tanpa henti, notifikasi tak putus, dan algoritma yang tahu selera kita lebih cepat dari orang tua sendiri. Di satu sisi, ini kemajuan. Tetapi di sisi lain, ini tantangan besar yang nggak bisa disepelekan. Terutama kalau kita bicara soal masa depan umat dan peran strategis generasi muda dalam perubahan.
Faktanya, tingkat screen time generasi muda hari ini sudah berada di level mengkhawatirkan. Banyak waktu habis di dunia maya, sementara peran nyata dalam kehidupan sosial, politik, dan dakwah justru makin tipis. Media sosial bukan cuma tempat hiburan, tapi juga ladang ide, nilai, dan cara pandang hidup. Masalahnya, siapa yang mengisi ladang itu?
Algoritma dunia maya bekerja dengan satu tujuan: mempertahankan perhatian. Ia tak peduli apakah konten itu mendidik atau merusak. Akibatnya, generasi muda bisa terjebak dalam gelembung informasi yang membentuk cara berpikir mereka secara perlahan tapi pasti. Kalau tidak punya pegangan yang kuat, mereka akan mudah terbawa arus.
Di sisi lain, muncul fenomena menarik. Banyak anak muda mulai kritis terhadap kezaliman penguasa, ketimpangan sosial, dan ketidakadilan sistem. Ini indikasi baik. Artinya, naluri keadilan mereka hidup. Tetapi kritik saja nggak cukup. Tanpa arah yang benar, kritik bisa berubah jadi kemarahan kosong, atau lebih parah lagi, dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu.
Di sinilah kita harus jujur melihat realitas. Generasi muda hari ini adalah pasar potensial bagi industri digital dan ideologi global. Konten yang mereka konsumsi setiap hari adalah “tabungan informasi” yang suatu saat akan menentukan sikap dan pilihan hidup mereka. Termasuk pilihan politik dan pandangan tentang agama.
Tak bisa dimungkiri, ide-ide sekuler dan liberal membanjiri media sosial. Dibungkus dengan bahasa kebebasan, toleransi, dan kemanusiaan, tapi seringkali menyingkirkan peran agama dari ruang publik.
Islam dipersempit jadi urusan privat, sementara sistem hidup diatur oleh logika kapitalisme. Kalau ini terus dibiarkan, generasi muda Muslim akan kehilangan arah, meski secara identitas masih mengaku beriman.
Karena itu, benteng pertama yang wajib dibangun adalah cara pandang hidup yang sahih. Dalam Islam, cara pandang ini bersumber dari Allah sebagai Sang Khalik, bukan dari tren, influencer, atau ide impor. Akidah Islam bukan sekadar keyakinan ritual, tapi fondasi berpikir dalam menilai realitas, menentukan sikap, dan memperjuangkan perubahan.
Anak muda Muslim harus berani mengambil arah hidup berdasarkan ideologi Islam secara utuh. Jangan cuma rindu perubahan, tapi masih mengambil solusi parsial. Ini bahaya. Banyak aktivis muda yang lantang di jalan, tetapi ketika ditawari jabatan atau ruang kompromi, langsung lunak. Akhirnya jadi aktivis prematur, cepat puas, dan mudah dibelokkan.
Lebih parah lagi, kalau generasi muda Muslim hanya menduplikasi pola aktivisme liberal. Meski berlabel Muslim, mereka tetap jadi bemper kapitalisme. Kritiknya berhenti di permukaan, solusinya tambal sulam, dan ujung-ujungnya tetap melanggengkan sistem yang zalim. Islam tidak mengajarkan perubahan setengah-setengah.
Padahal, secara fitrah, generasi muda punya potensi luar biasa. Mereka adalah makhluk Allah yang dibekali gharizah (naluri), hajatul ‘udhawiyah (kebutuhan jasmani), dan akal. Potensi ini hanya akan tumbuh optimal jika berada dalam lingkungan yang kondusif dan bernuansa iman, atau yang sering disebut jawwil iman.
Lingkungan ini tidak lahir dengan sendirinya. Ia butuh kolaborasi yang komprehensif dan sistemis. Keluarga berperan menanamkan aqidah dan teladan. Masyarakat menciptakan budaya amar makruf nahi mungkar. Pendidikan membentuk pola pikir yang lurus. Dan yang tak kalah penting: politik.
Dalam perspektif mabda Islam, perubahan sejati butuh sinergi semua elemen umat, termasuk partai politik Islam ideologis. Parpol ideologis bukan sekadar kendaraan elektoral, tapi tulang punggung pembinaan umat. Ia berperan melakukan muhasabah lil hukam mengoreksi penguasa sekaligus membuka ruang bagi suara kritis generasi muda.
Parpol Islam ideologis juga punya tanggung jawab mencerdaskan umat, meningkatkan taraf berpikir, dan menjaga agar perjuangan tetap berada di jalur aqidah. Bukan larut dalam pragmatisme, tapi konsisten memperjuangkan Islam sebagai solusi hidup. Di sinilah generasi muda seharusnya dilibatkan, dibina, dan diarahkan.
Tanpa sinergi ini, generasi muda akan terus berjuang sendiri-sendiri. Ada yang idealis tetapi tersesat, ada yang kritis tetapi bingung arah, ada yang semangat tetapi mudah patah. Islam datang bukan hanya untuk menenangkan hati, tapi untuk mengatur kehidupan, termasuk urusan kekuasaan dan masyarakat.
Akhirnya, mewujudkan generasi bertakwa dan tangguh bukan proyek instan. Ini kerja panjang yang butuh kesadaran kolektif. Ketika keluarga, masyarakat, gerakan dakwah, parpol ideologis, dan negara berjalan seirama dalam bingkai Islam, saat itulah generasi muda akan tumbuh bukan sekadar cerdas, tapi juga berani, lurus, dan siap memimpin perubahan hakiki.
Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan

0 Komentar