Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Gen Z, Cahaya Islam di Tengah Gelapnya Demokrasi


Topswara.com -- Ada fakta yang membuat dada sesak sekaligus membuka mata. Dari kerusuhan Agustus 2025, 959 orang ditetapkan sebagai tersangka. Dan yang paling mengejutkan, 295 di antaranya adalah anak-anak, generasi Z (tempo.com, 25/09/2025). 

Komnas HAM mengingatkan, proses hukum ini rawan pelanggaran HAM karena penuh potensi intimidasi (kompas.com, 26/09/2025). Bahkan KPAI menegaskan, langkah itu tidak sesuai standar perlindungan anak dalam undang-undang (kompas.com, 26/09/2025).

Fakta ini menimbulkan tanda tanya besar; apakah benar semua pemuda itu sekadar anarkis, ataukah ada kesadaran politik yang sedang tumbuh dan justru dikriminalisasi?

Bara Kesadaran Politik Gen Z

Hari ini, generasi Z menunjukkan bahwa mereka tidak hanya tenggelam dalam hiburan, tren media sosial, atau budaya populer. Mereka mulai bertanya, mulai resah, dan mulai bersuara terhadap ketidakadilan yang mereka saksikan. Kesadaran politik ini adalah kabar gembira, sekaligus tanda bahwa generasi muda masih punya energi perubahan.

Namun sayangnya, kesadaran itu tidak disambut dengan ruang dialog. Justru diberi label “anarkisme” dan “kriminalitas”. Inilah wajah demokrasi: manis dalam janji kebebasan, tapi getir dalam kenyataan. Demokrasi hanya ramah pada suara yang sejalan, tetapi kejam pada kritik yang mengusik kekuasaan.

Sejarah Selalu Ditulis Pemuda

Sejarah membuktikan, pemuda selalu berada di garda depan perubahan. Sumpah Pemuda 1928 menjadi tonggak lahirnya Indonesia modern. Di Prancis, pemuda menjadi motor Revolusi 1789 yang mengguncang feodalisme. 

Di Nepal, gen Z pun menjadi motor perubahan. Pada September 2025, negeri di pegunungan Himalaya itu diguncang gelombang besar yang dikenal dengan Protes Gen Z Nepal 2025.

Apalagi dalam sejarah Islam, peran pemuda amat menonjol. Ali bin Abi Thalib, Mus’ab bin Umair, pemuda Anshar dalam Baiat Aqabah merekalah yang mengukir sejarah awal dakwah Islam. Dengan semangat dan keberanian, mereka membawa risalah Nabi SAW hingga tegak negara Islam pertama di Madinah.

Tak heran, hari ini penguasa takut pada Gen Z. Sebab bara kecil kesadaran politik bisa menjadi api besar yang mengguncang singgasana tirani. Maka dipilihlah jalan cepat: kriminalisasi, pembungkaman, dan intimidasi.

Islam Memberi Arah, Demokrasi Membungkam

Namun ada satu catatan penting. Kesadaran politik saja tidak cukup bila tidak diarahkan dengan benar. Bara kecil bisa padam bila hanya menjadi luapan emosi sesaat. Energi besar pemuda bisa habis di jalanan tanpa menghasilkan perubahan hakiki.

Di sinilah perbedaan Islam dan demokrasi. Demokrasi mengekang kesadaran, sementara Islam justru menyalakannya. Demokrasi melabeli kritik sebagai ancaman, sementara Islam mewajibkan amar makruf nahi mungkar, termasuk mengoreksi penguasa zalim.

Rasulullah SAW bersabda: "Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berdiri di hadapan penguasa zalim lalu menasihatinya, kemudian penguasa itu membunuhnya" (HR. al-Hakim). 

Hadis ini menegaskan, pemuda yang berani menegur penguasa zalim bukanlah kriminal, tetapi justru sosok mulia di sisi Allah.

Khilafah Mencetak Pemuda dengan Kesadaran Terarah

Di bawah sistem demokrasi, pemuda dibiarkan tumbuh dengan pendidikan sekuler yang tercerabut dari akidah.
Tak heran, kesadaran politik mereka sering liar, emosional, dan mudah dipatahkan.

Berbeda dengan Islam. Dalam khilafah, pemuda dibentuk dengan pendidikan berbasis akidah Islam. Mereka diarahkan sejak dini untuk memahami makna hidup, misi sebagai hamba Allah, dan tanggung jawab sebagai penanggung amanah umat.

Kesadaran politik dalam Islam bukan sekadar reaksi emosional terhadap ketidakadilan, melainkan kesadaran mendalam bahwa tugas seorang Muslim adalah menegakkan amar makruf nahi mungkar dan memperjuangkan ridha Allah. 

Dari sinilah lahir generasi seperti Mus’ab bin Umair, Muhammad al-Fatih, hingga Shalahuddin al-Ayyubi. Semua mereka adalah pemuda yang mengukir sejarah bukan dengan amarah kosong, melainkan dengan visi Islam yang kaffah.

Hari ini, demokrasi semakin menampakkan wajah gelapnya. Ia gagal memberi ruang aman bagi suara kritis, bahkan pada generasi yang seharusnya menjadi harapan bangsa. Namun dalam kegelapan itu, justru cahaya Islam bisa menjadi penuntun.

Gen Z harus sadar bahwa perubahan hakiki tidak akan lahir dari demokrasi yang pincang, tetapi dari Islam yang kaffah. 

Hanya Islam yang mampu membentuk kesadaran politik yang jernih, bukan sekadar emosional. Islam sajalah yang mampu menjadikan pemuda bukan anarkis, tetapi pejuang mulia demi ridha Allah.

Maka wahai Gen Z, jangan gentar meski kalian dicap tersangka. Jangan surut meski kriminalisasi diarahkan kepada kalian. Ingatlah, sejarah selalu berpihak pada pemuda yang berani berdiri di jalan kebenaran. Bara kecil kesadaranmu bisa menjadi api besar perubahan, bila diarahkan oleh Islam.

Dan bila cahaya Islam yang kalian bawa, maka dunia akan melihat: Gen Z bukan ancaman, tetapi rahmat. Bukan masalah, tetapi solusi. Bukan kriminal, tetapi cahaya yang menyalakan peradaban. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida 
(Aktivis Muslimah Banua) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar