Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dua Negara: Penjara Kolonial bagi Palestina


Topswara.com -- Situasi Gaza terus memburuk. Serangan demi serangan Zionis yang didukung penuh Amerika Serikat semakin massif, tujuan pun sangat terang; mengosongkan Gaza dari penduduk aslinya. 

Pembantaian yang dilakukan tanpa henti ini menambah panjang daftar kejahatan perang yang seolah dibiarkan dunia. Bahkan, 158 perusahaan global terbukti mendukung pemukiman ilegal Israel di tanah Palestina (kompas.com, 27/09/2025).

Di tengah genosida yang berlangsung, hampir tidak ada satu pun negara yang sungguh-sungguh berdiri di sisi Gaza. Negeri-negeri Muslim pun memilih aman, mengikuti arahan Amerika dengan jargon two state solution (solusi dua negara). 

Bahkan Presiden RI Prabowo Subianto berulang kali mempromosikan solusi tersebut di forum internasional (tribunnews, 27/09/2025). 

Tak hanya itu, 12 negara baru-baru ini membentuk koalisi darurat untuk menopang finansial Otoritas Palestina, padahal lembaga itu sendiri sudah lama dipandang gagal dan hanya menjadi alat kompromi dengan Zionis (kompas.com, 27/09/2025).

Ilusi Dua Negara

Solusi dua negara sesungguhnya adalah bentuk keputusasaan Amerika terhadap keteguhan rakyat Gaza dan para mujahidin yang tak kunjung menyerah meski dibombardir habis-habisan. Dengan menggiring isu ke arah dua negara, Amerika seakan ingin menyelamatkan wajah Israel yang kian tercoreng, sekaligus meredam gelombang simpati dunia terhadap Gaza.

Mengakui solusi dua negara sama saja mengakui pencaplokan 70–80 persen wilayah Palestina yang sah milik kaum Muslim. Palestina versi dua negara hanya menyisakan sedikit lahan, dan itupun terpecah-pecah, tidak berdaulat, serta tetap dalam tekanan Zionis. 

Kita menyaksikan, narasi two-state solution terus diangkat media internasional seolah hanya inilah jalan keluar krisis Palestina. Hampir setiap forum dunia, dari PBB hingga Uni Eropa, mengulang jargon yang sama: “Palestina merdeka berdampingan damai dengan Israel.” 

Perlu dicermati, batas Palestina merdeka yang dimaksud itu di mana? Apakah pada garis 1948, ataukah 1967? Fakta menunjukkan, perbatasan 1948 telah merampas mayoritas tanah Palestina, sementara pasca 1967 wilayah mereka makin tercekik oleh pendudukan. 

Menjadikan salah satu dari batas itu sebagai landasan justru berarti mengakui keabsahan negara Zionis yang berdiri di atas darah dan pengusiran. Dengan kata lain, two-state solution hanya mengabadikan kejahatan, bukan menghapusnya. 

Lebih jauh, narasi “Palestina merdeka” yang dijajakan Amerika Serikat, termasuk pada masa Trump hingga deklarasi PBB terakhir, hanyalah kosmetik politik. Negara Palestina yang ditawarkan tidak pernah benar-benar berdaulat, karena tetap dikungkung kontrol keamanan Israel, blokade ekonomi, serta dominasi militer di lapangan. 

Seorang analis bahkan menyebut: peace process killed the two-state solution  proses damai itulah yang justru mematikan keadilan. 

Bahaya terbesar dari two-state solution bukan hanya karena ia ilusi, tetapi karena ia dipakai sebagai alat untuk membungkam perlawanan. Jika Palestina resmi jadi negara dalam kerangka dua negara, maka setiap upaya jihad atau resistensi otomatis dilabeli terorisme. 

Narasi ini sudah dipelihara media Barat sejak lama: siapa pun yang melawan penjajah akan disebut “ekstremis”, sementara yang tunduk pada diplomasi semu disebut “moderate”. Inilah cara dunia menutup pintu bagi jihad sebagai jalan pembebasan (reuters, 12/09/2025).

Lebih parah lagi, dukungan terhadap Palestina akhirnya dipersempit. Publik dunia diarahkan untuk hanya mendukung “Palestina merdeka” versi dua negara. Siapa pun yang menolak dianggap radikal, tidak realistis, bahkan dituduh anti perdamaian. 

Dengan cara ini, two-state solution berubah menjadi kerangka konsensus global yang menyingkirkan suara-suara otentik rakyat Palestina sendiri, yang menginginkan tanah air mereka dikembalikan sepenuhnya, bukan secuil wilayah yang tercabik-cabik. 

Padahal, sejarah membuktikan: setiap kali diplomasi digelar, penderitaan rakyat Palestina tidak berkurang, malah bertambah. Pemukiman Zionis makin meluas, tembok apartheid makin tinggi, blokade Gaza makin mencekik, dan pengungsian makin bertambah. Lalu, di mana letak “merdeka” yang dijanjikan? Bukankah ini hanya “penjara kolonial” dengan tembok yang dilapisi cat diplomasi?

Karena itu, umat Islam harus jernih melihat bahwa two-state solution adalah proyek ilusi. Ia bukan solusi sejati, melainkan jalan buntu yang sengaja digiring oleh kekuatan global untuk mematikan perjuangan.

Solusi Hakiki 

Solusi hakiki tragedi Gaza tidaklah lahir dari meja diplomasi PBB, bukan pula dari tawar-menawar Amerika, apalagi dari kompromi dengan penjajah. Islam menegaskan, penjajahan hanya bisa diselesaikan dengan pengerahan pasukan kaum Muslimin untuk berjihad fisabilillah. 

Maka, jangan tertipu oleh slogan manis tentang “dua negara hidup berdampingan”. Itu hanyalah propaganda untuk membungkam, bukan membebaskan. Palestina tidak butuh setengah merdeka, tidak butuh ilusi diplomasi, tapi merdeka sepenuhnya dari sungai hingga laut, bebas dari cengkeraman Zionis. 

Kaum Muslimin memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari Zionis. Jumlah tentara di negeri-negeri Muslim mencapai jutaan, dengan peralatan perang modern dan sumber daya yang sangat cukup. Jika benar-benar digerakkan dengan iman dan komando politik yang jelas, kaum Muslim akan mampu menghancurkan Zionis. 

Rasulullah SAW bersabda: “Imam (Khalifah) adalah perisai, di belakangnya kaum Muslim berperang dan berlindung” (HR. Bukhari-Muslim).

Khilafahlah yang mampu menyerukan dan memimpin umat Islam sedunia membebaskan Palestina. Tak heran, kolonialis Barat dahulu pernah berkata:
“Waspadalah terhadap khalifah. Dengan satu isyarat tangannya, ia bisa mengerahkan jutaan pasukan untuk mengalahkan kita.” []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida 
(Aktivis Muslimah Banua) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar