Topswara.com -- Pertama, mari kita simak ungkapan berikut yang terdapat dalam banyak kitab tentang adab semisal Tadzkirah al-Sami' wa al-Mutakallim, dan lain-lain:
قال حبيب بن الشهيد لابنه: يا بني اصحب الفقهاء والعلماء وتعلّم منهم وخذ من أدبهم؛ فإن ذلك أحبّ إليّ من كثير من الحديث.
“Habib bin al-Syahid berkata kepada putranya: Wahai anakku, bergaullah dengan para fuqaha dan para ulama, pelajarilah ilmu dari mereka, dan ambillah adab mereka. Sesungguhnya itu (adab) lebih aku sukai dibandingkan banyaknya meriwayatkan hadis (tanpa adab).”
Habib bin al-Syahid menegaskan bahwa berguru kepada ulama bukan hanya untuk ilmu, tetapi untuk meniru adab dan akhlaknya, karena adab merupakan perkara penting yang membuat ilmu menjadi bermanfaat.
Kedua, kaitan dengan ungkapan “adab sebelum ilmu”. Banyak ulama mengucapkan kalimat serupa, misalnya:
Imam Malik berkata:
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم
“Pelajarilah adab sebelum engkau belajar ilmu.”
Imam Ibn al-Mubarak berkata:
نحن إلى قليل من الأدب أحوج منا إلى كثير من العلم
“Kita lebih butuh sedikit adab daripada banyak ilmu.”
Lalu apa maksudnya? Maksud “adab sebelum ilmu” bukan secara epistemologis, tetapi secara metodologis dalam belajar bahwa seorang penuntut ilmu harus menguasai adab sebagai fondasi sebelum mendalami cabang-cabang ilmu syar’i lainnya.
Ketiga, menjawab isu “bukankah secara epistemologi urutannya adalah Ilmu kemudian amal, kemudian akhlak, setelah itu adab?" Ya benar. Jika yang dibicarakan adalah proses kausal epistemologis, maka urutannya:
Ilmu kemudian amal (perbuatan berdasarkan ilmu) setelah itu akhlak dan Adab (sikap [lisan dan perbuatan] yang merupakan refleksi kesadaran).
Artinya, adab lahir dari ilmu, bukan sebaliknya.
Keempat, lantas bagaimana menyelaraskan dua hal tersebut? Kedua konsep ini tidak bertentangan, karena konteksnya berbeda:
Pertama, epistemologi (hakikat ilmu dan pembentukan akhlak): Ilmu kemudian amal, setelah itu akhlak dan adab (adab lahir dari ilmu)
Kedua, metodologi thalabul ilm (proses belajar di awal): Adab sebelum ilmu (yakni belajar ilmu tentang adab terlebih dahulu sebelum ilmu lainnya).
Dengan demikian, ungkapan ulama “adab di atas ilmu” dapat dipahami sebagai: mempelajari ilmu tentang adab terlebih dahulu, sebelum mempelajari ilmu yang lebih luas seperti tafsir, hadis, atau fikih. Karena tanpa adab, ilmu justru menjadi fitnah, melahirkan ujub, sombong, debat kusir, dan tidak membawa manfaat.
Kesmpulannya:
Pertama, “adab sebelum ilmu” bermakna: pelajarilah ilmu tentang adab (tata krama, etika menuntut ilmu, etika kepada guru, dan etika kepada Allah) sebelum mempelajari ilmu-ilmu syar’i lainnya.
Kedua, secara epistemologi, adab memang lahir setelah ilmu, dengan alur: ilmu kemudian amal, setelah itu akhlak dan adab.
Ketiga, secara metodologi belajar, ilmu tentang adab harus dipelajari lebih dulu, agar ilmu yang datang kemudian menjadi bersih, berbuah, dan tidak merusak.
Ajengan Yuana Ryan Tresna
Peneliti Raudhah Tsaqofiyyah

0 Komentar