Topswara.com -- Runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, menjadi tragedi kemanusiaan yang mengguncang banyak pihak sekaligus membuka fakta terkait lemahnya pengawasan terhadap infrastruktur lembaga keagamaan di Indonesia.
Mushola pesantren tersebut ambruk pada Senin sore saat para santri tengah melaksanakan shalat Ashar. Menimbulkan korban puluhan jiwa yang tertimbun reruntuhan beton dan besi. Berdasarkan laporan BNPB per 5 Oktober 2025, jumlah korban meninggal mencapai 37 orang, dan angka itu terus bertambah hingga mencapai 63 korban jiwa ketika seluruh proses evakuasi rampung dua hari kemudian (Detik News, 2025).
Tim SAR gabungan dari Basarnas, TNI, dan Polri bekerja tanpa henti selama 24 jam untuk mengevakuasi korban dari puing-puing bangunan yang roboh, sementara keluarga korban menunggu dengan cemas di sekitar lokasi kejadian (Metrotvnews, 2025).
Tragedi ini memunculkan pertanyaan besar tentang kelayakan dan keamanan bangunan pesantren yang selama ini berdiri di berbagai daerah. Beberapa laporan menyebutkan bahwa bagian mushola yang ambruk sedang dalam proses renovasi atau perluasan, sehingga dikhawatirkan ada beban struktur yang tidak sesuai dengan daya dukung bangunan.
Terlepas dari musibah yang terjadi di Ponpes Al Khoziny, banyak pesantren-pesantren di Indonesia yang menambah gedung atau lantai baru untuk menampung santri tanpa pendampingan ahli konstruksi, sehingga berpotensi menimbulkan risiko fatal.
Disinyalir bahwa dana pembangunan ponpes umumnya dikumpulkan melalui donasi dari wali santri atau donator yang terbatas. Hal ini menyebabkan pihak ponpes melakukan efisiensi dan meminimalisir pengeluaran dana agar mencukupi seluruh kebutuhan, yang akhirnya berimbas pada penyediaan fasilitas yang kurang maksimal.
Tragedi runtuhnya Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo bukan hanya soal kesalahan teknis konstruksi, tetapi juga cerminan nyata dari hilangnya peran negara dalam memastikan keselamatan warganya di ruang pendidikan.
Dalam konteks ini, keselamatan santri seharusnya menjadi prioritas utama, bukan aspek yang dikorbankan atas nama efisiensi atau kemandirian lembaga. Negara, baik pemerintah pusat maupun daerah, tampak absen sejak tahap paling awal, yakni pengawasan izin bangunan dan penerapan standar konstruksi yang seharusnya menjadi syarat utama berdirinya lembaga pendidikan.
Fakta bahwa mushola pesantren yang ambruk tersebut sedang dalam proses renovasi tanpa pengawasan memadai memperlihatkan lemahnya sistem perizinan dan pengendalian mutu bangunan public.
Pemerintah seolah hanya hadir setelah bencana terjadi, mengirim tim evakuasi dan menyampaikan belasungkawa, tanpa refleksi mendalam atas peran preventif yang mestinya dijalankan.
Fenomena ini makin memperlihatkan paham sekulerisme yang terjadi di Indonesia. Pemerintah cenderung memisahkan lembaga keagaaman di luar pengawasan administratif negara. Tidak ada kehadiran dan perlindungan dari negara dalam setiap proses yang terjadi di ponpes.
Lain halnya dengan Islam, dalam Islam negara lah yang memegang peranan utama untuk bertanggung jawab penuh terhadap fasilitas pendidikan tanpa membedakan apakah ini sekolah negeri, sekolah swasta, atau sekolah agama tertentu. Pembiayaan mengenai fasilitas pendidikan akan dialokasikan secara terstruktur melalui baitul mal.
Keamanan dan kesejahteraan santri tidak akan lagi bergantung pada kemampuan yayasan atau donasi masyarakat semata, melainkan terfasilitasi secara menyeluruh oleh negara. Pendidikan bukan hanya sarana mentransfer ilmu, tetapi juga ruang pembentukan akhlak dan peradaban umat.
Karena itu, ketika negara membiarkan lembaga pendidikan berdiri tanpa standar keamanan yang layak, sebenarnya negara telah lalai menjalankan amanah yang ditetapkan oleh syariat. Oleh karena itu, tidak ada yang lebih baik selain dari penerapan sistem islam secara kaffah agar seluruh lini kehidupan masyarakat dapat terjamin keamanan dan kesejahteraannya oleh negara.
Oleh: Nabila A.S.
Aktivis Muslimah

0 Komentar