Topswara.com -- Indonesia sebagai negara kepulauan di atas Cincin Api Pasifik (ring of fire) dan pertemuan tiga lempeng tektonik utama, memiliki kerentanan bencana alam tertinggi di dunia. Realitas geografis ini menyebabkan ancaman konstan dari gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi, hingga bencana hidrometeorologi.
Dalam periode terakhir, bencana seperti banjir bandang, tanah longsor, dan angin puting beliung telah melumpuhkan berbagai wilayah, menyebabkan putusnya infrastruktur, kerugian material, dan banyaknya korban. Salah satu contoh terbaru adalah tanah longsor di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pada Jumat (14/11/2025).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan telah memperingatkan warga tentang potensi hujan dan risiko pergerakan tanah, terutama di daerah cekungan Majenang.
Meskipun ada dedikasi dari personal lapangan seperti BNPB dan BPBD, liputan media, seperti CNN Indonesia dan Media Indonesia pada tahun 2025, secara konsisten melaporkan kesulitan sistemis dalam operasi penanganan dan evakuasi.
Kendala utama meliputi cuaca ekstrem, akses medan yang berat, serta keterbatasan drastis pada jumlah personel dan sumber daya logistik tim SAR.
Analisis menunjukkan bahwa krisis bencana di Indonesia bukan semata takdir alam, melainkan sebuah kegagalan struktural yang berakar pada tiga isu krusial:
Pertama, maladministrasi tata kelola lingkungan. Frekuensi dan intensitas bencana tidak terlepas dari kesalahan fatal dalam tata kelola ruang dan lingkungan.
Perusakan ekosistem, deforestasi, dan alih fungsi lahan yang tidak terkontrol telah merusak daya dukung lingkungan. Bencana adalah konsekuensi langsung dari ulah manusia yang mengabaikan prinsip keberlanjutan.
Kedua, kelemahan sistem mitigasi yang komprehensif. Kelambanan penanganan menunjukkan lemahnya sistem mitigasi bencana pada tataran individu (kesiapsiagaan), masyarakat (koordinasi komunal), dan negara (kebijakan dan infrastruktur).
Ketiga, fokus respons darurat ketimbang pencegahan. Pemerintah dinilai tidak serius dalam menyiapkan kebijakan preventif maupun kuratif yang terintegrasi (Mongabay, 2025; BBC, 2025).
Fokus yang dominan pada respons darurat, bukan pencegahan berkelanjutan, menciptakan siklus kerentanan yang terus berulang.
Solusi Islam
Untuk keluar dari siklus bencana dan penanganan yang lamban, Islam menawarkan solusi dengan paradigma yang utuh sebagai dasar perubahan pemikiran. Paradigma Islam mengenai bencana memiliki dua dimensi integral:
Pertama, dimensi ruhiyah (spiritual edukasi). Dimensi ini memaknai bencana tidak hanya sebagai tanda kekuasaan Allah, tetapi juga sebagai konsekuensi moral dan etis dari perbuatan manusia.
Solusinya adalah melalui edukasi masif yang memahamkan masyarakat bahwa merusak alam adalah perbuatan dosa (maksiat) dan membahayakan kehidupan.
Hal ini didukung oleh QS. Ar-Rum ayat 41: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, (melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan lingkungan adalah akibat tindakan manusia sendiri, dan melalui kondisi tersebut, Allah mengingatkan manusia agar kembali ke jalan yang benar.
Kedua, dimensi siyasiyah (kebijakan mitigasi negara). Dimensi ini menempatkan negara (pemerintah) sebagai penanggung jawab utama untuk menjamin keselamatan jiwa rakyatnya.
Mitigasi Preventif dan Komprehensif
Negara diwajibkan melakukan mitigasi bencana secara serius dan komprehensif. Ini mencakup perumusan kebijakan tata kelola ruang yang ketat berdasarkan analisis risiko bencana (Disaster Risk Reduction/DRR) dan secara tegas melarang praktik perusakan lingkungan.
Penanganan pascabencana yang layak yaitu pemerintah bertanggung jawab penuh memberikan bantuan secara layak, mulai dari evakuasi yang cepat, penyediaan kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan, kesehatan), hingga pendampingan psikososial yang memadai. Bantuan ini harus berkelanjutan hingga penyintas mampu menjalani kehidupan normal kembali.
Tanggung jawab ini juga mencakup percepatan penanganan korban dan memastikan tidak ada warga yang terabaikan dalam proses evakuasi (Antara News, 2025; Media Indonesia, 2025).
Integrasi antara aspek spiritual/etis (ruhiyah) dengan kebijakan negara yang serius (siyasiyah) adalah kunci agar Indonesia dapat keluar dari siklus bencana dan lambatnya penanganan, menuju masyarakat yang aman dan berkelanjutan[]
Oleh: Diah Ayu Dwi Ningtyas
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar