Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Stok Beras Melimpah, kok Dompet Rakyat Resah?


Topswara.com -- Bayangkan kamu masuk ke rumah tetangga yang penuh karung beras sampai menumpuk di ruang tamu. Tetapi anehnya, anak-anak di rumah itu tetap makan seadanya, bahkan kadang hanya dengan garam dan air putih. Kamu pasti akan bertanya: “Lho, kok bisa? Stok melimpah, tetapi dapur tetap miskin?”

Begitulah kondisi Indonesia hari ini. Pemerintah dengan bangga menyebut stok beras aman, gudang Bulog penuh, bahkan klaim swasembada terus digaungkan. Namun, di sisi lain rakyat tetap mengeluh harga beras yang kian mencekik. 

Menurut data BPS, Agustus 2025 harga beras naik di 214 kabupaten/kota. Laman resmi Bapanas (7/09/2025) juga mencatat harga beras medium dan premium masih bertengger di atas HET. Ini artinya, ada paradoks besar; stok katanya melimpah, tapi dompet rakyat justru makin resah, kok bisa? 

Jika ditelisik ada beberapa realita pahit dibalik stok beras yang melimpah.  
Pertama, distribusi macet, beras ada tetapi tak nyata.  

Pemerintah mengandalkan jurus andalan: beras SPHP seharga Rp12.500/kg. Targetnya 1,5 juta ton. Tapi apa hasilnya? Hingga awal September, baru tersalur sekitar 327 ribu ton alias hanya 22 persen. Menteri Pangan sendiri mengaku distribusi macet (antaranews.com, 9/09/2025).

Logikanya sederhana: apa artinya stok berlimpah di gudang kalau tidak sampai ke meja makan rakyat? Sama saja punya kulkas penuh, tetapi listrik mati. Isi kulkas membusuk, sementara perut tetap keroncongan.

Masalah lain, SPHP hanya dijual kemasan 5 kg. Padahal banyak rakyat kecil terbiasa beli per liter atau sekilo demi sekilo. Seperti orang yang hanya sanggup naik angkot, tapi dipaksa beli tiket kereta eksekutif. Bukan membantu, malah menyulitkan.

Kedua, kualitas mengecewakan, dompet rakyat pun tertekan. Okelah, ada sebagian rakyat yang berhasil dapat SPHP. Tetapi bagaimana kualitasnya? Ombudsman mencatat keluhan: kadar air tinggi, tampak kusam, bahkan berbau apek. Banyak ibu rumah tangga akhirnya ogah membeli. Mau hemat, tapi kalau nasinya cepat basi, sama saja buang uang.

Ironinya, bantuan beras 10 kg untuk keluarga miskin justru akan dihapus tahun depan. Anggarannya dialihkan untuk serap gabah. Janji memberi makan, tapi malah simpan stok di gudang. Lagi-lagi rakyat yang jadi korban.

Ketiga, obesitas Bulog, swasembada fatamorgana. Kini stok beras Bulog mencapai 3,9 juta ton. Sebagian bahkan berusia lebih dari 6 bulan, berisiko rusak. Ombudsman memperingatkan potensi disposal hingga 300 ribu ton dengan kerugian sekitar Rp4 triliun (Ombudsman, 3/09/2025).

Pemerintah bangga klaim swasembada. Tapi apa gunanya kalau stok hanya jadi hiasan di gudang, tidak didistribusikan untuk rakyatnya. Ini bukan swasembada, tapi fatamorgana. 

Keempat, swasta kuasai, negara jadi regulator saja. Fakta lain lebih menohok: distribusi beras ternyata dikuasai swasta. Bulog hanya menguasai 8 persen, sementara 92 persen dikuasai penggilingan besar (Instagram Perum Bulog). Maka jangan heran, kalau mereka tarik produk, rak-rak pasar langsung kosong.

Sederhananya: pasar sudah mereka monopoli. Negara? Cuma jadi penonton, sibuk bikin konferensi pers. Inilah wajah kapitalisme: negara diposisikan sebagai wasit yang kerjaanya mengatur dan menonton saja, bukan pemain. 

Islam: Pangan Adalah Hak, Bukan Komoditas

Masalah pangan di negeri ini bukan sekadar teknis, tetapi ideologis. Kapitalisme memandang beras sekadar komoditas ekonomi. Islam memandang beras sebagai kebutuhan pokok yang wajib dijamin negara. 

Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa yang di pagi hari merasa aman, sehat, dan memiliki makanan cukup untuk hari itu, seakan-akan dunia telah diberikan kepadanya" (HR. Tirmidzi).

Dan beliau menegaskan: “Pemimpin adalah pengurus, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. Bukhari-Muslim).

Teladan Rasulullah dan Umar bin Khattab

Di masa Rasulullah, ketika Madinah dilanda kelaparan, beliau tidak bersembunyi di balik data. Rasulullah segera mengutus sahabat untuk mendatangkan gandum dari luar negeri. Solusi nyata, bukan retorika.

Umar bin Khattab lebih dahsyat. Saat paceklik Ramadhan, Umar memikul sendiri karung gandum untuk rakyat. Beliau bersumpah tidak akan makan enak sebelum rakyatnya kenyang. Bandingkan dengan hari ini: rakyat antre beras murahan, sementara pemimpinnya sibuk rapat lalu makan mewah di hotel berbintang.

Solusi Islam: Sistemis dan Nyata

Dalam khilafah, negara wajib memastikan distribusi beras lancar, mudah, dan murah. Tidak ada aplikasi ribet, tidak ada birokrasi yang menyulitkan pedagang kecil. Swasta boleh berperan, tetapi negara tetap pengendali utama.

Bagi fakir miskin, negara memberi beras gratis dari baitulmal. Anggaran tidak pernah dicabut, karena itu hak rakyat. Negara juga memastikan petani untung, pedagang adil, dan konsumen terlindungi.

Hari ini kita menyaksikan ilusi swasembada. Gudang penuh, tetapi harga di pasar tetap mahal. Data indah, tetapi dompet rakyat makin resah. Kapitalisme selalu pandai membuat laporan, tetapi gagal memberi kepastian.

Islam menunjukkan jalan berbeda. Beras bukan sekadar komoditas, tapi hak rakyat. Dengan kepemimpinan yang amanah, pangan dijamin sampai ke meja keluarga. Bukan sekadar janji, bukan sekadar data, tetapi nyata dalam kehidupan sehari-hari. []


Oleh: Zahida Ar-Rosyida 
(Aktivis Muslimah Banua) 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar