Topswara.com -- Belakangan ini wacana kurikulum berbasis cinta kembali mencuat, terutama dalam forum-forum pelatihan guru yang diadakan oleh berbagai organisasi, termasuk Nahdlatul Ulama (NU). Gagasan ini berangkat dari keresahan bahwa dunia pendidikan makin jauh dari ruh kasih sayang, kepedulian, dan nilai kemanusiaan.
Dalam sistem sekuler, guru diposisikan bukan sebagai pendidik ruhani dan pembentuk peradaban, melainkan sekadar aparatur teknis yang menjalankan instruksi kurikulum negara. Maka, jargon “kurikulum berbasis cinta” hadir untuk memberi nuansa baru seakan ada solusi atas keringnya pendidikan.
NU misalnya, melalui PCNU Banjarmasin menggelar pelatihan guru Aswaja dan ke-NU-an dengan tema implementasi kurikulum berbasis cinta di madrasah (amnesia.id, 4/09/2025). Dukungan serupa juga disuarakan dalam forum resmi, seperti diberitakan Antara News (11/09/2025) bahwa PCNU Banjarmasin mendukung penguatan kurikulum cinta di madrasah.
Bahkan Kemenag turut melanjutkan program penguatan kurikulum cinta di daerah, sebagaimana tercatat di laman resmi Kemenag Kalimantan Selatan. Semua ini memperlihatkan bahwa jargon cinta telah diangkat menjadi wacana serius di dunia pendidikan.
Namun, di balik itu ada hal yang perlu dicermati: cinta seperti apa yang dimaksud? Apakah cinta sekadar ekspresi emosional, keramahan guru di kelas, atau sekadar pendekatan psikologis yang tanpa makna dan arah jelas?
Jika cinta hanya dipahami sebatas sikap lembut atau metode humanis, maka ia berisiko menjadi slogan kosong. Pelatihan guru mungkin menghasilkan tenaga pendidik yang ramah, tetapi tetap terbelenggu oleh kurikulum sekuler yang materialistis.
Inilah kelemahan utama dari jargon cinta dalam sistem pendidikan hari ini. Ketika pondasi kurikulumnya tetap sekuler, orientasi pendidikan tidak akan berubah.
Guru akan terus ditekan oleh administrasi, standar teknis, dan target-target akademis, bukan dimuliakan sebagai pembimbing generasi. Pendidikan akhirnya kehilangan ruh, sebab kurikulum sekuler menihilkan tujuan hakiki: membentuk manusia beriman, berakhlak, dan berperadaban mulia.
Islam memandang guru dengan kedudukan sangat mulia. Rasulullah SAW bersabda bahwa para ulama adalah pewaris para Nabi. Guru bukan sekadar pengajar keterampilan teknis, melainkan pendidik ruhani dan pembentuk syakhsiyah islamiyah.
Dalam naungan khilafah, orientasi pendidikan tidak berhenti pada profesionalisme dingin, tetapi membentuk pribadi Islam yang berpikir dan berperilaku berdasarkan akidah. Kurikulumnya berbasis akidah Islam, seluruh mata pelajaran diarahkan untuk meneguhkan iman sekaligus memajukan ilmu pengetahuan.
Lebih dari itu, guru dijamin kesejahteraannya oleh negara. Bagaimana mungkin pendidikan bisa melahirkan generasi kuat jika guru sendiri hidup dalam tekanan ekonomi?
Dalam sistem pendidikan Islam, guru digaji layak, mendapatkan fasilitas, tunjangan, dan penghargaan yang mencerminkan martabatnya.
Relasi guru-murid dibangun dengan rahmah; cinta bukan sekadar slogan, tetapi terwujud nyata dalam bentuk sistem yang menyejahterakan guru, menghormati perannya, dan memastikan seluruh proses pendidikan berjalan sesuai syariat.
Dibawah naungan khilafah guru-guru menerima gaji layak dan tunjangan yang memastikan mereka fokus mengajar, murid-murid belajar dengan penuh semangat, kelas-kelas tertata rapi, fasilitas lengkap, dan kurikulum berbasis akidah berjalan konsisten.
Hasilnya: generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak, beriman, dan siap memimpin umat. Inilah wujud nyata cinta yang membangun peradaban, bukan sekadar slogan manis bertabur ilusi.
Dengan demikian, solusi hakiki bagi krisis pendidikan bukan sekadar pelatihan guru dengan jargon cinta. Apalagi cinta yang tidak memiliki arah jelas, hanya menambal wajah pendidikan yang sebenarnya rapuh.
Solusinya adalah mengembalikan seluruh sistem pendidikan pada kerangka Islam di bawah naungan khilafah, di mana guru benar-benar dimuliakan dan generasi dididik untuk menjadi umat yang cerdas, beriman, dan berakhlak mulia.
Cinta yang dibangun di atas sekularisme ibarat gula buatan: manis sesaat, tetapi berbahaya dalam jangka panjang. Ia bisa memicu ketergantungan, membuat orang tampak bahagia di luar, padahal rapuh di dalam. Sebaliknya, cinta dalam Islam ibarat madu asli: manisnya alami, sehat, memberi energi, bahkan menjadi obat.
Pendidikan yang berlandaskan cinta sekuler hanya mengajarkan “rasa manis” palsu, tetapi pendidikan yang berlandaskan Islam menghadirkan cinta sejati yang mendidik, menumbuhkan, dan menyehatkan generasi.
Maka jargon cinta tanpa makna dan arah yang jelas hanyalah jalan buntu. Harapan satu-satunya kembali pada sistem pendidikan Islam yang menjadikan akidah sebagai asas bagi tujuan dan kurikulum pendidikan. Hanya dengan itu, cinta bukan sekadar slogan, melainkan menjadi napas kehidupan yang membimbing generasi pada arah yang benar. []
Oleh: Zahida Ar-Rosyida
(Aktivis Muslimah Banua)

0 Komentar