Topswara.com -- Kasus mutilasi di Mojokerto-Surabaya yang melibatkan pasangan muda kembali mengguncang nurani masyarakat. Betapa tidak, seorang wanita muda ditemukan dalam kondisi mengenaskan, tubuhnya terpotong-potong dan disimpan di kamar kos pelaku. Yang lebih ironis, pelaku ternyata pacarnya sendiri.
Pertengkaran akibat masalah ekonomi dan kekecewaan sepele berakhir dengan perbuatan sadis yang sulit diterima akal sehat.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, tragedi ini bukanlah insiden tunggal. Ia adalah potret buram dari gaya hidup bebas yang semakin merambah generasi muda, salah satunya lewat praktik kohabitasi atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan.
Apa yang awalnya dianggap sekadar pilihan hidup praktis untuk saling mengenal pasangan atau menekan biaya hidup nyatanya justru membuka pintu pada persoalan serius, mulai dari kekerasan, kerusakan moral, hingga hilangnya nyawa.
Normalisasi Kohabitasi dalam Budaya Modern
Tren kohabitasi kini kian dinormalisasi oleh budaya populer. Film, drama, musik, dan media sosial sering menggambarkan tinggal bersama pasangan tanpa ikatan sah sebagai sesuatu yang lumrah. Generasi muda pun terbuai dengan narasi kebebasan, setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya tanpa intervensi nilai agama maupun norma sosial.
Beberapa kalangan mencoba memberi justifikasi rasional. Seorang psikolog, misalnya, menyebut kohabitasi bisa berjalan sehat bila ada kesepakatan, pengaturan biaya, dan batasan yang jelas. Akan tetapi, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Hubungan yang dibangun tanpa komitmen hukum dan tanggung jawab justru rentan berakhir tragis. Kasus mutilasi di Mojokerto-Surabaya hanyalah satu dari sekian banyak bukti yang menunjukkan rapuhnya pondasi hubungan semacam itu.
Islam Menutup Jalan Menuju Kemaksiatan
Islam sejak awal telah memberi rambu yang jelas mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32).
Ayat ini bukan hanya melarang zina, tetapi juga menutup semua celah yang dapat mengantarkan ke arah sana. Tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan jelas merupakan salah satu bentuk "mendekati zina" yang diharamkan.
Rasulullah SAW juga mengingatkan bahaya khalwat, yakni berduaan antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan mahram. Beliau bersabda:
“Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan melainkan syaitan menjadi yang ketiga di antara mereka.” (HR. Tirmidzi)
Kohabitasi, hakikatnya, adalah bentuk khalwat yang dilegalkan oleh budaya modern. Tidak heran bila hubungan semacam itu sering berakhir dengan perselingkuhan, kekerasan, bahkan kriminalitas.
Dampak Sosial dan Psikologis
Dari sisi sosial, kohabitasi membawa konsekuensi yang serius. Pertama, Ketiadaan jaminan keamanan. Tanpa ikatan sah, hubungan mudah goyah ketika terjadi konflik. Pihak yang lemah, biasanya perempuan, lebih sering menjadi korban.
Kedua, kerusakan generasi. Anak-anak yang lahir dari hubungan di luar nikah berpotensi tumbuh dengan beban stigma, kehilangan hak-hak hukum, dan luka psikologis.
Ketiga, Meningkatnya kriminalitas. Ketika kohabitasi dianggap wajar, maka kasus-kasus kekerasan yang lahir darinya pun sering dipandang sekadar “urusan pribadi”. Padahal, sebagaimana tragedi mutilasi ini, dampaknya begitu luas dan merusak tatanan sosial.
Islam Menawarkan Solusi Bermartabat
Berbeda dengan ideologi liberal yang menuhankan kebebasan, Islam menawarkan solusi yang menjaga kehormatan dan keselamatan manusia, yaitu pernikahan. Pernikahan bukan sekadar ikatan cinta, tetapi juga akad suci, bentuk ibadah, dan perjanjian yang melahirkan tanggung jawab bersama.
Rasulullah SAW bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena itu dapat menjadi benteng baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan pernikahan, kebutuhan biologis tersalurkan secara halal, keturunan terjaga nasabnya, dan masyarakat pun terlindungi dari kerusakan moral. Pernikahan adalah institusi yang dirancang Allah untuk melahirkan generasi berkualitas dalam suasana penuh kasih sayang dan tanggung jawab.
Kembali ke Ideologi Islam
Tragedi mutilasi yang berawal dari kohabitasi seharusnya menjadi pelajaran berharga. Jika liberalisasi pergaulan dibiarkan, generasi muda akan semakin jauh dari nilai agama dan semakin dekat dengan kehancuran. Normalisasi kohabitasi bukanlah tanda modernitas, melainkan gejala runtuhnya moralitas.
Islam hadir bukan sekadar mengatur urusan ibadah ritual, tetapi juga memberikan panduan hidup menyeluruh—termasuk dalam membangun hubungan antara laki-laki dan perempuan. Jalan Islam terbukti lebih aman, lebih mulia, dan lebih menjamin kebahagiaan sejati.
Saatnya masyarakat menyadari bahwa kebebasan tanpa batas hanyalah jebakan. Tragedi mutilasi ini adalah alarm keras yang mengingatkan kita untuk kembali kepada ideologi Islam sebagai pedoman hidup. Hanya dengan cara itu, generasi muda dapat selamat dari jebakan gaya hidup bebas, dan masyarakat pun terhindar dari kerusakan yang lebih dalam.
Wallahu a'lam bishshawab.
Oleh: Ema Darmawaty
Praktisi Pendidikan
0 Komentar